
Angin Berbalik Arah, Rupiah Bisa Jeblok ke Rp 14.450/US$

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah merosot hingga 0,81% melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Kamis kemarin ke Rp 14.350/US$. Dengan pelemahan tersebut, Mata Uang Garuda sepanjang pekan ini tidak pernah menguat sekalipun, total pelemahannya dalam 4 hari perdagangan sebesar 1,14%. Tekanan bagi rupiah kini tidak hanya datang dari eksternal tetapi juga dari dalam negeri, sehingga berisiko kembali jeblok pada perdangan Jumat (18/6/201).
Pengumuman kebijakan moneter bank sentral AS (The Fed) membuat rupiah tertekan. The Fed mengejutkan pasar dengan memproyeksikan suku bunga akan naik pada tahun 2023. Tidak hanya sekali tetapi dua kali kenaikan masing-masing 25 basis poin.
Hal tersebut terlihat dari Fed Dot Plot, dimana 13 dari 18 anggota melihat suku bunga akan dinaikkan pada tahun 2023. 11 diantaranya memproyeksikan dua kali kenaikan.
Proyeksi kenaikan suku bunga tersebut lebih cepat ketimbang perkiraan yang diberikan bulan Maret lalu, dimana mayoritas melihat suku bunga baru akan dinaikkan pada tahun 2024.
Selain itu, dalam Fed Dot Plot terbaru, ada 7 anggota yang memproyeksikan suku bunga bisa naik pada tahun 2022.
Artinya, jika perekonomian AS semakin membaik, ada kemungkinan suku bunga akan naik tahun depan, jauh lebih cepat dari proyeksi sebelumnya.
Sementara itu dari dalam negeri, Bank Indonesia (BI) memutuskan tetap mempertahankan suku bunga sebesar 3,5%.
Perry juga menyinggung masalah tapering yang menurutnya tidak akan terjadi di tahun ini.
"Kami melihat tapering The Fed tidak terjadi tahun ini. Akan terus kami pantau kalau ada indikator-indikator baru jika ada perubahan, tetapi kemungkinan tapering akan dilakukan tahun depan," kata Perry Warjiyo, Gubernur BI, dalam konferensi pers usai Rapat Dewan Gubernur (RDG) edisi Juni 2021, Kamis (17/6/2021).
Menurut Perry, The Fed akan memulai tapering dengan mengurangi pembelian surat berharga (quantitative easing), ini kemungkinan diterapkan pada kuartal I-2021. Kemudian suku bunga acuan diperkirakan baru naik pada 2023.
Oleh karena itu, lanjut Perry, BI akan terus bersiap agar Indonesia mampu menghadapi gejolak akibat tapering off. Caranya adalah melakukan stabilisasi di pasar agar nilai tukar rupiah tetap terjaga.
Namun, tekanan dari dalam negeri kini datang dari virus corona, dimana kasus positifnya mengalami peningkatan signifikan. Satgas Penanganan Covid-19 mencatat per Kamis (17/6/2021) kasus harian Covid-19 di Indonesia menembus 12.624 kasus, menjadi kenaikan tertinggi sejak 30 Januari lalu.
Lonjakan kasus dalam beberapa pekan terakhir tentunya membuat pelaku pasar cemas Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang lebih ketat bisa kembali diterapkan.
Secara teknikal, rupiah yang sebelumnya bergerak di bawah 3 rerata pergerakan (Moving Average/MA) kini malah berbalik nyaris bergerak di atasnya MA 100 hari dan MA 200 hari, tetapi masih tertahan di bawah MA 50 hari.
MA terakhir tersebut berada di kisaran 14.360/US$ dan jika ditembus secara konsisten rupiah berisiko merosot lebih jauh.
Sementara itu Stochastic pada grafik harian berbalik naik meski belum mencapai wilayah oversold. Saat ini berada di level 31.
![]() Foto: Refinitiv |
Stochastic merupakan leading indicator, atau indikator yang mengawali pergerakan harga. Ketika Stochastic mencapai wilayah overbought (di atas 80) atau oversold (di bawah 20), maka harga suatu instrumen berpeluang berbalik arah.
Seperti disebutkan sebelumnya, jika MA 50 kembali dilewati, rupiah berisiko melemah ke Rp 14.420/US$ hingga Rp 14.450/US$.
Sementara selama tertahan di bawah MA 50, rupiah berpotensi menguat ke Rp Rp 14.315/US$ hingga Rp 14.300/US$ yang berada di sekitar MA 100 dan MA 200.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article The Fed Tetap Tegas, Rupiah Tetap Liar!
