Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak melemah di perdagangan pasar spot pagi ini. Respons pasar terhadap hasil rapat bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) tidak menguntungkan mata uang Merah Putih.
Pada Kamis (17/6/2021), US$ 1 setara dengan Rp 14.250 kala pembukaan pasar spot. Rupiah melemah 0,11% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Kemarin, rupiah juga menutup perdagangan pasar spot dengan depresiasi 0,11% di hadapan dolar AS. Ini membuat rupiah melemah tiga hari beruntun. Selama tiga hari tersebut, depresiasi rupiah tercatat 0,33%.
Sayangnya, hari ini tren pelemahan rupiah masih berlanjut. Penyebabnya adalah reaksi pasar atas hasil rapat Komite Pengambil Kebijakan The Fed (Federal Open Market Committee/FOMC).
Dini hari tadi waktu Indonesia, Ketua Jerome 'Jay' Powell dan kolega memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan di 0-0,25%. Suku bunga mendekati 0% ini dinilai masih layak (appropriate) untuk mendukung pencapaian target penciptaan lapangan kerja maksimal (maximum employment) dan inflasi di kisaran 2% dalam jangka menengah panjang. Tidak hanya itu, The Fed juga masih mempertahankan besaran pembelian aset-aset keuangan (quantitative easing) sebesar US$ 120 miliar per bulan.
"Dalam menentukan kebijakan, Komite akan terus memonitor berbagai informasi dan proyeksi. Komite akan bersiap untuk menyesuaikan posisi (stance) kebijakan moneter apabila terjadi risiko yang mengancam target yang telah ditetapkan," demikian sebut keterangan tertulis FOMC.
Halaman Selanjutnya --> The Fed Rllis Proyeksi Terbaru
Dalam rapat FOMC kali ini, The Fed juga memberikan proyeksi terbaru. Pada 2021, The Fed memperkirakan ekonomi Negeri Paman Sam tumbuh 7%, lebih tinggi ketimbang 'ramalan' yang dbuat pada Maret lalu yaitu 6,5%.
Kemudian dalam proyeksi Juni, inflasi yang dicerminkan oleh Personal Core Expenditure/PCE inti pada akhir tahun ini diperkirakan sebesar 3%. Juga lebih tinggi dibandingkan proyeksi Maret yakni 2,2%.
Sementara tingkat pengangguran pada akhir 2021 diperkirakan 4,5%. Ini tidak berubah dibandingkan proyeksi Maret.
 Sumber: FOMC |
The Fed juga meriilis proyeksi arah suku bunga acuan ke depan yang digambarkan dalam dotplot. Dalam outlook Maret, ada empat anggota FOMC yang menilai suku bunga acuan sudah bisa naik pada 2022. Kemudian tujuh anggota lain berpendapat Federal Funds Rate baru bisa naik pada 2023.
Dalam proyeksi Juni, komposisi ini berubah. Kini ada tujuh anggota FOMC yang menilai suku bunga sudah bisa naik tahun depan dan 13 anggota berpendapat kenaikan Federal Funds Rate terjadi pada 2023.
 Sumber: FOMC |
Proyeksi berbagai indikator plus dotplot terbaru mencerminkan bahwa ekonomi Negeri Adidaya semakin membaik, semakin pulih setelah dihantam keras oleh pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19). Perkembangan ini membuat The Fed semakin berani dalam mewacanakan pengetatan kebijakan (tapering off).
"Sangat bahagia melihat ekonomi dibuka kembali dan orang-orang bisa menjalani kehidupan mereka. Siapa yang tidak mau melihat itu?" ujar Powell dalam konferensi pers usai rapat, seperti dikutip dari Reuters.
Powell kembali menegaskan bahwa kenaikan suku bunga acuan dan pengurangan quantitative easing baru akan dilakukan jika ekonomi sudah benar-benar dirasa sehat. "Ketika itu terjadi, di mana sudah tercipta kondisi siap lepas landas, itu akan menjadi sinyal bahwa pemulihan sudah kuat dan tidak lagi membutuhkan suku bunga mendekati 0%," tambah Powell.
Melihat Ketua Powell dan sejawat yang sepertinya semakin hawkish, pelaku pasar pun menjauh dari aset-aset berisiko. Dini hari tadi waktu Indonesia, bursa saham AS ditutup merah di mana indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) turun 0,77%, S&P 500 terpangkas 0,54%, dan Nasdaq berkurang 0,24%.
"Melihat dotplot terbaru, yang memperkirakan suku bunga acuan bisa naik dua kal pada 2023, The Fed sepertinya kian hawkish. Wajar pasar bereaksi seperti ini," kata Daniel Ahn, Chief US Economist di BNP Paribas, seperti diberitakan Reuters.
Aura tapering off yang semakin terasa membuat investor bermain aman dengan memburu dolar AS. Permintaan yang membeludak membuat dolar AS menguat.
Pada pukul 07:54 WIB, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) menguat 0,36%. So, tidak heran rupiah jadi lemah.
TIM RISET CNBC INDONESIA