
Dolar Kian Nyaman di Atas Rp 14.200, Ini Gara-garanya!

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah di kurs tengah Bank Indonesia (BI). Mata uang Ibu Pertiwi pun lemas di perdagangan pasar spot.
Pada Rabu (16/6/2021), kurs tengah BI atau kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor berada di Rp 14.257. Rupiah melemah 0,09% dibandingkan posisi hari sebelumnya.
Rupiah pun lesu di 'gelanggang' pasar spot. Kala penutupan pasar, US$ 1 setara dengan Rp 14.235 di mana rupiah melemah 0,11%.
Saat 'lapak' dibuka, rupiah sudah melemah tetapi tipis saja di 0,07%. Seiring perjalanan pasar, rupiah semakin lemah dan dolar AS kian nyaman di atas Rp 14.200.
Namun rupiah tidak sendiri, sebagian besar mata uang Asia pun tidak bisa berbuat banyak di hadapan dolar AS. Hanya saja, depresiasi 0,11% sudah cukup untuk menjadi rupiah jadi yang terlemah.
Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Benua Kuning di perdagangan pasar spot pada pukul 15:01 WIB:
Halaman Selanjutnya --> Pasar Tunggu Arahan Pak Ketua
Hari ini, sepertinya tren pelemahan rupiah belum terputus. Soalnya, ada tendensi investor sedang malas mengambil risiko (risk-on) dan memilih bermain aman karena menunggu hasil rapat bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed).
"Sepertinya investor tengah menanti keputusan rapat The Fed. Saat ini, The Fed mungkin dalam posisi bahwa mereka mulai memikirkan soal pengetatan kebijakan (tapering off), tetapi implementasinya masih lama," kata Ed Moya, Senior Market Analyst di OANDA, seperti dikutip dari Reiuters.
Pada Kamis dini hari waktu Indonesia, Ketua Jerome 'Jay' Powell dan kolega akan menyelesaikan rapat yang berlangsung selama dua hari dan mengumumkan hasilnya. Untuk suku bunga acuan, pasar memperkirakan masih bertahan di 0-0,25%. Mengutip CME FedWatch, probabilitasnya adalah 93%.
Namun bukan suku bunga yang saat ini dipantau oleh pelaku pasar. Melainkan kapan The Fed akan mulai mengurangi 'suntikan' likuiiditas ke perekonomian dengan pembelian surat berharga alias quantitative easing. Saat ini, quantitative easing bernilai US$ 120 miliar per bulan.
Pelaku pasar menilai memang sudah saatnya The Fed memangkas quantitative easing. Pasalnya, likuiditas yang melimpah kemudian malah menciptakan tekanan inflasi. Kalau tidak diatasi, maka ekonomi Negeri Paman Sam bisa mengalami overheat.
Pada Mei 2021, laju inflasi Negeri Paman Sam tercatat 0,8% dibandingkan bulan sebelumnya (month-to-month/mtm). Ini adalah laju tercepat sejak Juni 2009.
Sementara secara tahunan (year-on-year/yoy), inflasi AS berada di 5%. Ini menjadi laju tercepat sejak Agustus 2008.
Oleh karena itu, pelaku pasar akan menyimak dengan saksama pernyataan tertulis The Fed dan pidato Ketua Powell usai rapat nanti. Pelaku pasar akan mencari petunjuk soal tapering off, apakah masih samar-samar atau semakin terang-benderang.
Sembari menunggu, investor enggan terlalu mengambil risiko. Sikap mencari aman ini membuat arus modal mengalir ke dolar AS, yang berstatus safe haven.
"Dengan asumsi tekanan inflasi bisa bertahan cukup lama, maka kami memperkirakan sikap dan kebijakan The Fed akan memihak kepada dolar AS ," sebut riset BofA Global Research.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Dolar AS Ngamuk, Rekor Tertinggi 20 Tahun!
