Masih Butuh Utang, Pemerintah Pantau 'Hantu' Taper Tantrum!

Cantika Adinda Putri, CNBC Indonesia
09 June 2021 13:50
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Sentral Amerika Serikat (AS), The Fed diperkirakan akan mengurangi pembelian aset atau tapering off. Hal ini sudah pasti akan berimbas terhadap pasar keuangan negara berkembang, termasuk Indonesia atau biasa disebut taper tantrum.

Ketika taper tantrum terjadi, imbal hasil atau yield Surat Berharga Negara (SBN) akan melonjak. Ini akan menjadi kesulitan bagi pemerintah, sebab beban bunga di masa depan akan besar.

Lalu, bagaimana strategi pemerintah dalam menerbitkan SBN?

Direktur Surat Utang Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Deni Ridwan menjelaskan pihaknya akan terus memonitor secara seksama dinamika di pasar global.

"Termasuk perkembangan di Amerika Serikat. Sejauh ini kondisi market masih in line dengan strategi penerbitan surat berharga negara oleh DJPPR," jelas Deni kepada CNBC Indonesia, Rabu (9/6/2021).

Adapun dalam laporan DJPPR bertajuk 'Debt Portfolio Review' disebutkan bahwa pada kuartal II-2021, akan menargetkan total penarikan utang mencapai Rp 323,4 triliun.

Jumlah tersebut terdiri dari surat utang negara (SUN) sebesar Rp 194,6 triliun dengan mengutamakan penerbitan SUN melalui lelang, penerbitan Samurai Bond, dan private placement yang dilakukan dengan tujuan khusus.

Adapun melalui penerbitan utang melalui surat berharga syariah negara (SBSN) Rp 108,4 triliun utamanya melalui lelang, dan penerbitan sukuk valas.

Kemudian, utang yang berasal dari pinjaman ditargetkan sebesar Rp 20,4 triliun. DJPPR menyampaikan pengadaan pinjaman tunai itu berasal dari World Bank, AIIB, KfW dan JICA. Selain itu, sumber pemberi pinjaman dapat berubah sesuai dengan progres negosiasi dan penyiapan dokumentasi.

"Nanti akhir bulan Juni kita hitung lagi berapa kebutuhan untuk Semester II-2021, dengan melihat hasil penerbitan selama semester I," jelas Deni.

Pemerintah akan melihat risiko ekonomi makro dan pembiayaan yang cenderung meningkat dalam rangka penerbitan utang pada April hingga Juni 2021.

Dalam laporan DJPPR, juga mulai memperhitungkan adanya dampak dari pemulihan ekonomi AS yang lebih cepat. Kenaikan inflasi dan yield surat berharga AS diperkirakan akan memberi tekanan pada sektor keuangan emerging market.

"Seperti yang terjadi di 2013, taper tantrum," jelas DJPPR dalam laporannya, dikutip Rabu (9/6/2021).

Pemerintah sudah menyiapkan mitigasi jangka pendek-menengah dan jangka panjang.

Dalam jangka pendek-menengah, akan memperkuat pendalaman pasar keuangan dalam negeri. Koordinasi intensif dengan BI untuk menjaga cadangan devisa. Selain itu juga, pembatasan impor secara selektif dan pemberian stimulus pada ekspor untuk mengurangi transaksi berjalan.

Mitigasi jangka pendek-menengah itu juga, akan mengembangkan pasar ekspor non-tradisional, serta melanjutkan program vaksinasi dengan diversifikasi produk vaksin (mengurangi ketergantungan pada satu produsen).

Dalam mitigasi jangka panjang, akan melanjutkan kebijakan pengurangan ketergantungan energi minyak bumi.

Selain itu, DJPPR juga mulai melihat adanya risiko pembiayaan utang cenderung meningkat. Hal ini akibat dari tekanan kenaikan US Treasury dan perbaikan ekonomi US yang progresif.

"Berpotensi untuk capital outflow dan kecenderungan pelemahan kurs rupiah," jelas DJPPR.

Dampaknya terhadap pembiayaan utang, yakni target penerbitan utang tahun 2021 dapat dipenuhi, namun terdapat potensi peningkatan cost of borrowing.

Dalam memitigasi hal tersebut, dijelaskan DJPPR akan melakukan liabilities management (debt switch and buyback), memaksimalkan penerbitan SBN di Kuartal III-IV. Kemudian memanfaatkan dukungan BI sebagai standby buyer untuk memperoleh pembiayaan yang efisien dan berkoordinasi dengan kreditur pinjaman.


(mij/mij)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ada Taper Tantrum, Pemerintah Perlu Tarik Utang Lebih Cepat?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular