Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menguat di kurs tengah Bank Indonesia (BI). Di pasar spot, rupiah juga menguat meski penuh perjuangan.
Pada Selasa (8/6/2021), kurs tengah BI atau kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor berada di Rp 14.262. Rupiah menguat 0,06% dibandingkan posisi hari sebelumnya.
Di pasar spot, rupiah akhirnya finis di jalur hijau meski apresiasinya sangat terbatas. Saat penutupan pasar, US$ 1 setara dengan Rp 14.250 di mana rupiah menguat 0,07%.
Kala pembukaan pasar, rupiah menguat 0,07%. Mata uang Tanah Air sempat menguat 0,14%, tetapi sempat pula masuk zona merah dengan koreksi tipis 0,04%.
Posisi terkuat rupiah hari ini ada di Rp 14.245/US$. Sementara terlemahnya adalah Rp 14.245/US$.
Sedangkan mata uang utama Asia lainnya bergerak variatif di hadapan dolar AS. Namun, seperti halnya rupiah, mata uang yang mampu menguat hanya membukukan apresiasi yang relatif terbatas.
Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Benua Kuning di perdagangan pasar spot pada pukul 15:01 WIB:
Halaman Selanjutnya --> Hantu Taper Tantrum Gentayangan (Lagi)
Penguatan rupiah dan mata uang Asia menjadi terbatas karena sejatinya dolar AS sedang lumayan kuat. Pada pukul 14:19 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) menguat 0,11%.
Pekan ini, US Bureau of Labor Statistics akan merilis data inflasi AS periode Juni 2021. Konsensus pasar yang dihimpun Reuters memperkirakan inflasi AS bulan lalu adalah 4,7% dibandingkan periode yang sama bulan sebelumnya (year-on-year/yoy). Lebih cepat ketimbang laju bulan sebelumnya yaitu 4,2% yoy dan jika terwujud bakal menjadi yang tercepat sejak September 2008.
Perkembangan inflasi tentu akan menjadi warna dalam pertemuan bank sentral AS (The Federal Reserve) minggu depan. Jika laju inflasi diperkirakan bakal stabil di atas target 2%, maka bukan tidak mungkin The Fed bakal mulai melakukan pengetatan. Suku bunga mungkin tetap bertahan rendah, tetapi gelontoran likuiditas (quantitative easing) kemungkinan bisa dipangkas dari saat ini yang US$ 120 miliar per bulan.
Pengurangan likuiditas akan membuat pasokan dolar AS berkurang. Seperti halnya barang, mata uang pun kalau pasokannya terbatas harga bakal 'naik'.
"Ada kekhawatiran bahwa The Fed akan mulai membahas soal pengetatan kebijakan (tapering), terutama pembelian aset, dalam rapat minggu depan. Apalagi Menteri Keuangan Janet Yellen mengatakan suku bunga yang lebih tinggi sebenarnya bagus untuk perekonomian," kata Philip Wee, FX Strategist di DBS yang berbasis di Singapura, seperti dikutip dari Reuters.
Dalam wawancara dengan Bloomberg akhir pekan lalu, Yellen menyatakan kenaikan suku bunga akan berdampak positif bagi perekonomian dan bagi The Fed sendiri. Menurutnya, suku bunga rendah adalah penyebab laju inflasi tidak bisa dipacu.
"Sudah satu dekade kita memerangi inflasi rendah dan suku bunga yang terlalu rendah. Kita ingin keduanya (inflasi dan suku bunga) kembali normal. Sedikit kenaikan (suku bunga) bukan hal yang buruk, malah bagus," tutur Yellen, seperti dikutip dari Reuters.
Pernyataan Yellen tentu tidak bisa dipandang sebelah mata. Sebelum menjadi Menteri Keuangan, Yellen adalah Ketua The Fed periode 2014-2018, tepat sebelum ketua saat ini yaitu Jerome 'Jay' Powell. Yellen menjadi nakhoda kala The Fed melalui masa transisi dari kebijakan ultra-longgar warisan krisis sub-prime mortage ke arah yang lebih ketat.
Perkembangan ini menjadi angin segar bagi dolar AS. Wacana pengurangan quantitative easing dan kenaikan suku bunga acuan membuat 'posisi tawar' dolar AS menjadi lebih tinggi. Berinvestasi di aset-aset berbasis dolar AS bakal menjanjikan cuan kala tapering terjadi. Akibatnya, rupiah dan mata uang Asia agak kerepotan menghadapi perlawanan dolar AS.
TIM RISET CNBC INDONESIA