Jejak Bisnis Grup Salim di Perbankan RI, BCA-INA hingga MEGA!

Aldo Fernando, CNBC Indonesia
07 June 2021 12:50
anthoni salim (Tangkapan Layar Youtube)
Foto: anthoni salim (Tangkapan Layar Youtube)

Jakarta, CNBC Indonesia - Sebelum dikenal oleh masyarakat luas lewat jenama Indofood, Grup Salim dulunya pernah tercatat sebagai pemilik mayoritas saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) alias BCA, yang saat ini menjadi bank swasta terbesar di Indonesia dan bank dengan kapitalisasi pasar terbesar di Bursa Efek Indonesia (BEI), Rp 804 triliun.

Sejak krisis 1998, Grup konglomerasi usaha yang dibangun oleh Sudono Salim atau Liem Sioe Liong ini harus rela melepas kepemilikan BCA, yang kemudian dibeli oleh Grup Djarum besutan duo Hartono, Robert Budi Hartono dan Bambang Hartono, orang terkaya se-Tanah Air.

Di era kejayaannya, Grup Salim hampir memiliki usaha di semua sektor industri, mulai dari bisnis di sektor perbankan, industri makanan, bahan bangunan, ritel, hingga otomotif.

Sekarang Grup Salim masih merupakan kerajaan bisnis besar yang menjadi pemilik Bogasari, Indofood, perkebunan sawit, Indomobil, Sari Roti hingga Indomaret yang kini sudah banyak tersebar di seluruh penjuru Indonesia dan beberapa negara di Asia Tenggara.

Di industri perbankan, jejak Salim sudah terekam sejak era Orde Lama.

Pada 1954 Sudono Salim mendirikan Bank Windu Kencana, tapi tidak sukses. Kemudian pada Oktober 1956, Salim kembali mendirikan bank dengan nama NV Bank Asia.

Tak lama berselang, pada 1957 Liem Sioe Liong kembali mendirikan sebuah bank yang belakangan menjadi Bank Central Asia (BCA). Bank-bank yang didirikan Grup Salim tersebut tidak langsung besar pada era Orde Lama.

Pada era Orda Baru, BCA kemudian bertumbuh menjadi bank besar. Namun kemudian pada 1997-1998, krisis ekonomi melanda Indonesia.

Grup Salim merupakan salah satu kelompok usaha yang terkena dampaknya. Sejumlah aset milik Grup Salim harus dilego termasuk BCA, karena menerima Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Ada 48 bank komersial bermasalah akibat krisis pada saat itu, di antaranya BCA milik Grup Salim. Total dana talangan BLBI yang dikeluarkan sebesar Rp 144,5 triliun.

Namun 95% dana tersebut ternyata diselewengkan, berdasarkan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan dinilai sebagai korupsi paling besar sepanjang sejarah Indonesia.

Pada 1998 BCA menjadi Bank Take Over (BTO) dan disertakan dalam program rekapitalisasi dan restrukturisasi yang dilaksanakan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).

Lalu pada 1999 proses rekapitalisasi BCA selesai, di mana Pemerintah Indonesia melalui BPPN menguasai 92,8% saham BCA sebagai hasil pertukaran dengan BLBI.

Dalam proses rekapitalisasi tersebut, kredit pihak terkait dipertukarkan dengan Obligasi Pemerintah.

Sejak saat itu, berdasarkan riset CNBC Indonesia, Grup Salim tak lagi menjadi pemegang pengendali saham BCA. Dan sepak terjang Grup Salim di industri perbankan juga mulai tak tampak.

BCA sebenarnya bisa saja membeli kembali BCA setelah keluar Surat Kesepakatan Bersama (SKB) yang dibuat oleh Bank Indonesia (BI) dan pemerintah yang memperbolehkan eks pemegang saham pengendali membeli sebagian atau seluruh sahamnya kembali dari BPPN setelah memenuhi Perjanjian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS).

Dalam SKB bernomor 117/KMK.017/1999 tersebut, disebutkan bahwa BPPN dapat menjual sebagian atau seluruh saham bank BTO kepada eks pemegang saham pengendali setelah memenuhi PKPS.

Setelah sekian lama keluar dari gelanggang perbankan Tanah Air, akhirnya pada Januari 2017, Grup Salim mewujudkan niatnya membeli bank dengan membeli saham PT Bank Ina Perdana Tbk (BINA).

Saat itu Grup Salim membeli 29,02% saham Bank Ina lewat NS Financials Fund sebesar 10,58% saham dan melalui NS Asean Financial Fund sebesar 18,44%.

Dalam keterbukaan informasi Bank Ina Perdana yang dipublikasikan pada 10 Januari 2020 di BEI, yang disampaikan Direktur Utama Bank Ina Daniel Budirahayu dan Direktur Kepatuhan Bank Ina Wardoyo, menyebutkan Grup salim resmi menjadi ultimate shareholder atau pemegang saham pengendali terakhir (PSPT) Bank Ina Perdana bersama pemilik Bali United (PT Bali Bintang Sejahtera Tbk/BOLA), Pieter Tanuri.

Informasi fakta material yang disampaikan yakni terjadi perubahan struktur kepemilikan saham Bank Ina, di mana perusahaan kendaraan investasi Grup Salim, PT Indolife Pensiontama menjadi pemegang saham pengendali.

Sebelumnya pemegang saham pengendali hanya dipegang oleh PT Philadel Terra Lestari milik pengusaha dan pemilik klub sepak bola Bali United (PT Bali Bintang Sejahtera Tbk/BOLA) Pieter Tanuri.

Menurut data per 2 Juni 2021, Indolife Pensiontama menggenggam 21,47% saham BINA, Lion Trust (Singapore) Ltd memilik 18,29%, PT Samudra Biru (16,51%), DBS Bank Ltd As Trustee of NS Financial Fund (10,49%). Kemudian, PT Gaya Hidup Masa Kini (9,98%), Philadel (7,53%) dan sisanya dipegang publik (14,72%).

Selain menguasai Bank Ina, Grup Salim, melalui Indolife Pensiontama, juga resmi menggenggam sebanyak 422,81 juta saham atau setara dengan 6,07% dari total jumlah saham beredar di bank milik taipan Chairul Tanjung (CT), PT Bank Mega Tbk (MEGA), sejak Desember tahun lalu.

Mengacu laporan yang dipublikasikan 4 Januari 2021 di keterbukaan informasi bursa, dengan membeli sebanyak 6,07% saham tersebut, nilainya diproyeksikan mencapai Rp 2,95 triliun sampai dengan Rp 3,04% bila merujuk pada harga penutupan perdagangan saham MEGA pada 29-30 Desember 2020 di rentang harga Rp 7.000 dan Rp 7.200 per saham.

Dengan masuknya Grup Salim, mayoritas saham MEGA tetap dikuasai oleh Mega Corpora milik CT (58,01%) dan selebihnya adalah saham publik (35,91%).

TIM RISET CNBC INDONESIA


(adf/adf)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kisah BCA Lepas Dari Salim & Jadi Rebutan Pengusaha Sedunia

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular