
Pelaku Pasar Mulai Borong Rupiah, tapi kok Kursnya Melemah?

Jakarta, CNBCÂ Indonesia -Â Rupiah melemah tipis 0,07% melawan dolar Amerika Serikat (AS) ke Rp 14.290/US$ pada perdagangan Jumat (4/6/2021). Meski demikian, kabar naik berdatangan di pekan ini yang membuat rupiah berpeluang menguat ke depannya.
Hasil survei 2 mingguan yang dilakukan Reuters menunjukkan para pelaku pasar kini menambah posisi beli (long) rupiah, yang berada di level tertinggi sejak Februari lalu.
Survei tersebut menggunakan skala -3 sampai 3, angka negatif berarti pelaku pasar mengambil posisi beli (long) mata uang Asia dan jual (short) dolar AS. Semakin mendekati -3 artinya posisi long yang diambil semakin besar.
Sementara angka positif berarti short mata uang Asia dan long dolar AS, dan semakin mendekati angka 3, semakin besar posisi short mata uang Asia.
Dari 10 mata uang Asia yang disurvei Reuters, pelaku pasar kini mengambil posisi long terhadap 4 mata uang Asia, salah satunya rupiah.
Survei terbaru yang dirilis Kamis (3/6/2021) menunjukkan angka untuk rupiah di -0,40, lebih besar ketimbang 2 pekan lalu -0,06. Pelaku pasar kini mengambil posisi long dalam 2 survei beruntun, setelah sebelumnya berada di posisi short dalam 6 survei beruntun.
Posisi long yang semakin meningkat artinya pelaku pasar semakin optimistis rupiah akan menguat ke depannya.
Optimisme tersebut muncul bersama dengan harapan bangkitnya perekonomian Indonesia di kuartal II-2021, dan terlepas dari resesi.
Rabu lalu, IHS Markit merilis data aktivitas sektor manufaktur bulan Mei yang dilihat dari purchasing managers' index (PMI). Data menunjukkan PMI manufaktur Indonesia bulan Mei sebesar 55,3, melesat dibandingkan bulan sebelumnya 54,6.
PMI manufaktur di bulan April tersebut merupakan yang tertinggi sepanjang masa, artinya di bulan Mei rekor tersebut pecah lagi.
"Dua komponen utama penyumbang kenaikan PMI adalah produksi (output) dan pemesanan baru (new orders). Perusahaan membukukan peningkatan permintaan yang signifikan, didukung oleh permintaan eksternal yang tumbuh dua bulan beruntun. Untuk memenuhi permintaan, dunia usaha meningkatkan pembelian bahan baku/penolong," sebut keterangan tertulis IHS Markit.
Ada kabar baik lain yaitu lapangan kerja mulai semakin tercipta. Dunia usaha akhirnya melakukan ekspansi tenaga kerja untuk kali pertama dalam 15 bulan terakhir untuk memenuhi peningkatan produksi.
Terus meningkatnya ekspansi sektor manufaktur tentunya menjadi kabar bagus bagi Indonesia, dan memperkuat optimisme akan lepas dari resesi di kuartal II-2021. Sektor manufaktur sendiri berkontribusi sekitar 20% terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia.
Sementara itu, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan data inflasi Indonesia periode Mei 2021. Hasilnya tidak jauh dari ekspektasi pasar.
BPS melaporkan terjadi inflasi 0,32% pada Mei 2021 dibandingkan bulan sebelumnya (month-to-month/mtm). Sementara dibandingkan Mei 2020 (year-on-year/yoy), laju inflasi tercatat 1,68%.
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan laju inflasi bulan kelima tahun ini di 0,305% mtm. Sementara laju inflasi dibandingkan Mei 2020 diperkirakan sebesar 1,67%.
Inflasi inti dilaporkan tumbuh 1,37% YoY, sama persis dengan konsensus. Kenaikan inflasi tersebut bisa menjadi indikasi daya beli masyarakat yang membaik.
Meski banyak kabar baik di pekan ini, sayangnya rupiah belum sanggup menguat. Sebabnya muncul isu tapering yang membuat dolar AS perkasa.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Rapat Kebijakan Moneter The Fed jadi Kunci Penguatan Rupiah
Tapering merupakan kebijakan mengurangi nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) bank sentral AS (The Fed). Ketika hal tersebut dilakukan, maka aliran modal akan keluar dari negara emerging market dan kembali ke Negeri Paman Sam. Hal tersebut dapat memicu gejolak di pasar finansial yang disebut taper tantrum.
Wacana tapering sebenarnya sudah diredam oleh The Fed dalam beberapa bulan terakhir. Tetapi kini Presiden The Fed wilayah Philadelphia, Patrick Harker, kembali membuka wacana tersebut.
Harker mengatakan perekonomian AS terus menunjukkan pemulihan dari krisis virus corona dan pasar tenaga kerja terus menunjukkan penguatan, dan menjadi saat yang tepat bagi The Fed untuk mulai memikirkan tapering.
"Kami berencana mempertahankan suku bunga acuan di level rendah dalam waktu yang lama. Tetapi ini mungkin saatnya untuk mulai memikirkan pengurangan program pembelian aset yang saat ini senilai US$ 120 miliar," kata Harker sebagimana dilansir Reuters.
Isu tapering tersebut semakin menguat setelah rilis data tenaga kerja AS versi Automatic Data Processing Inc. (ADP) yang lebih bagus dari perkiraan.
ADP kemarin melaporkan sepanjang bulan Mei sektor swasta AS menyerap 978.000 tenaga kerja di luar sektor pertanian. Penambahan tersebut jauh lebih banyak ketimbang bulan sebelumnya 654.000 tenaga kerja.
"Data tenaga kerja yang lebih baik dari prediksi membuat para trader berhati-hati. Mereka mempersiapkan kemungkinan pernyataan tapering atau kenaikan suku bunga dari The Fed, meski tidak dalam waktu dekat" kata Bob Haberkorn, ahli strategi pasar senior di RJO Futures, sebagaimana dilansir CNBC International, Kamis (4/6/2021).
Data dari ADP ini biasanya dijadikan acuan rilis data tenaga kerja versi pemerintah AS yang dikenal dengan istilah non-farm payrolls (NFP), yang akan dirilis malam ini. Hasil survei dari Dow Jones memperkirakan NFP sepanjang bulan Mei sebanyak 671.000 pekerja, naik dari bulan sebelumnya 266.000 tenaga kerja.
Meski demikian, perhatian utama akan tertuju pada rapat kebijakan moneter The Fed pada 16 dan 17 Juni mendatang. Pelaku pasar akan melihat apakah The Fed benar mulai mempertimbangkan tapering atau masih mempertahankan sikapnya untuk melihat perkembangan perekonomian yang substansial.
Jika The Fed benar mulai mempertimbangkan tapering, maka dolar AS akan makin perkasa dan rupiah sulit untuk menguat. Sebaliknya, jika The Fed menegaskan belum mempertimbangkan tapering, maka jalan lapang bagi rupiah untuk kembali melesat.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Sekedar Mengingatkan, Ini Ngerinya Taper Tantrum Bagi Rupiah
Taper tantrum pernah terjadi pada tahun pada pertengahan tahun 2013 lalu, The Fed yang saat itu dipimpin Ben Bernanke, mengeluarkan wacana tapering QE yang dilakukan sejak krisis finansial global 2008.
The Fed saat itu menerapkan QE dalam 3 tahap. QE 1 dilakukan mulai November 2008, kemudian QE 2 mulai November 2010, dan QE 3 pada September 2012. Nilainya pun berbeda-beda, saat QE 1 The Fed membeli efek beragun senilai US$ 600 miliar, kemudian QE 2 juga sama senilai US$ 600 miliar tetapi kali ini yang dibeli adalah obligasi pemerintah (Treasury) AS.
QE 3 berbeda, The fed mengumumkan pembelian kedua aset tersebut senilai US$ 40 miliar per bulan, kemudian dinaikkan menjadi US$ 85 miliar per bulan.
Kebijakan suku bunga rendah dan QE membuat perekonomian Negeri Paman Sam banjir likuiditas, akibatnya indeks dolar AS tertahan di bawah level 90. Artinya dolar AS sedang melempem.
Saat wacana tapering muncul dolar AS menjadi begitu perkasa. Sehingga jika wacana tapering kembali muncul ada risiko dolar AS akan "mengamuk" sebab kondisinya sama dengan 2013, dolar AS tertekan akibat QE The Fed yang senilai US$ 120 per bulan yang dilakukan sejak Maret tahun lalu, dan indeks dolar AS sebelumnya berada di bawah level 90.
Balik lagi ke tahun 2013, The Fed akhirnya mulai mengurangi QE sebesar US$ 10 miliar per bulan dimulai pada Desember, hingga akhirnya dihentikan pada Oktober 2014.
Akibatnya, sepanjang 2014, indeks dolar melesat lebih dari 12%.
Tidak sampai di situ, setelah QE berakhir muncul wacana normalisasi alias kenaikan suku bunga The Fed, yang membuat dolar AS terus berjaya hingga akhir 2015.
Rupiah menjadi salah satu korban keganasan taper tantrum kala itu. Sejak Bernanke mengumumkan tapering Juni 2013 nilai tukar rupiah terus merosot hingga puncak pelemahan pada September 2015.
Di akhir Mei 2013, kurs rupiah berada di level Rp 9.790/US$ sementara pada 29 September 2015 menyentuh level terlemah Rp 14.730/US$, artinya terjadi pelemahan lebih dari 50%.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Masih Tertekan, Rupiah Bisa Sentuh Rp 14.800/USD di Q2-2021