
Terkuak! Tak Ada Anthoni Salim di Pemegang Saham BCA, Dijual?

Jakarta, CNBC Indonesia - Sudah lama diketahui bahwa bos besar Grup Indofood Anthoni Salim memiliki kepemilikan saham pribadi di perbankan swasta terbesar di Tanah Air PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) atau BCA, bank dengan kapitalisasi pasar terbesar di Bursa Efek Indonesia (BEI) yang kini dikuasai Grup Djarum.
Memang, BCA bukan bank yang asing bagi Anthoni. Ini lantaran Grup Salim, konglomerasi usaha yang dibangun oleh sang ayah Sudono Salim atau Liem Sioe Liong, sempat memiliki bank ini sebelum akhirnya dilepas ke Grup Djarum akibat dari krisis 1998.
Namun, menurut amatan Tim Riset CNBC Indonesia, dengan menelusuri laporan keuangan BCA, per kuartal II atau akhir Juni 2020, nama Anthoni Salim sudah tidak ada lagi sebagai pemilik saham BBCA.
Padahal, menilik laporan keuangan kuartal I-2020, per 31 Maret 2020, Anthoni Salim masih tercatat menggenggam 434.079.976 saham atau sekitar 1,76% dari total saham BBCA.
Seiring dengan itu, pada laporan keuangan per 30 Juni 2020, terjadi peningkatan pada komposisi pemegang saham publik (kepemilikan di bawah 5%). Kenaikan tersebut sebesar 1,76% dari sebelumnya pada akhir Maret 2020 sebesar 43,11% menjadi 44,87%.
Pada laporan keuangan BCA kuartal I 2021 pun, nama Anthoni Salim tidak muncul di daftar komposisi pemegang saham perusahaan.
Apabila menelisik ke belakang, porsi kepemilikan Anthoni di saham BBCA tercatat stabil sebesar 1,76% setidaknya sejak 2006 silam. Kala itu, jumlah saham yang dikuasai Anthoni sebesar 217.039.988 saham. Adapun pada 2004 dan 2005, porsi kepemilikan Anthoni mencapai, secara berturut-turut, 1,82% dan 1,77%.
Catatan saja, sejak akhir 2008, jumlah saham Anthoni menjadi sebesar 434.079.976 saham seiring dengan pemecahan nilai nominal saham (stock split) BBCA pada 2008 dengan rasio 1 : 2. Dengan stock split ini, rasio kepemilikan saham Anthoni masih tetap sebesar 1,76%.
Lantas, kenapa nama Anthoni Salim tidak ada lagi di keterangan mengenai komposisi pemegang saham dalam laporan keuangan BCA?
Ternyata, setelah CNBC Indonesia menanyakan hal ini kepada Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmadja, porsi kepemilikan milik sang pewaris takhta Grup Salim saat ini termasuk ke dalam saham yang dipegang oleh publik yang sebesar 45,05%.
"[Porsi kepemilikan saham Anthoni Salim di BBCA] ada di bagian dari [dari] publik tercampur," jelas Jahja kepada CNBC Indonesia, Jumat (4/6/2021).
NEXT: Jejak Grup Salim di Perbankan RI
Grup Salim pernah tercatat sebagai pemilik BCA, yang saat ini menjadi bank swasta terbesar di Indonesia. Sejak krisis 1998, Grup Salim harus rela melepas kepemilikan BCA yang kemudian dibeli oleh Grup Djarum besutan duo Hartono, Robert Budi Hartono dan Bambang Hartono, orang terkaya se-Tanah Air.
Di era kejayaannya, Grup Salim hampir memiliki usaha di semua sektor industri, mulai dari bisnis di sektor perbankan, industri makanan, bahan bangunan, ritel, hingga otomotif.
Sekarang Grup Salim masih merupakan kerajaan bisnis besar yang menjadi pemilik Bogasari, Indofood, perkebunan sawit, Indomobil, Sari Roti hingga Indomaret yang kini sudah banyak tersebar di seluruh penjuru Indonesia dan beberapa negara di Asia Tenggara.
Di industri perbankan, jejak salim sudah terekam sejak era Orde Lama. Pada 1954 Sudono Salim mendirikan Bank Windu Kencana, tapi tidak sukses. Kemudian pada Oktober 1956, Salim kembali mendirikan bank dengan nama NV Bank Asia.
Tak lama berselang pada 1957 Liem Sioe Liong kembali mendirikan sebuah bank yang belakangan menjadi Bank Central Asia (BCA). Bank-bank yang didirikan Grup Salim tersebut tidak langsung besar pada era Orde Lama.
Pada era Orda Baru, BCA kemudian bertumbuh menjadi bank besar. Namun kemudian pada 1997-1998, krisis ekonomi melanda Indonesia.
Grup Salim merupakan salah satu kelompok usaha yang terkena dampaknya. Sejumlah aset milik Grup Salim harus dilego termasuk BCA, karena menerima Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Ada 48 bank komersil bermasalah akibat krisis pada saat itu, di antaranya BCA milik Grup Salim. Total dana talangan BLBI yang dikeluarkan sebesar Rp 144,5 triliun. Namun 95% dana tersebut ternyata diselewengkan, berdasarkan temuan Badan Pemeriksa Keuangan, dan dinilai sebagai korupsi paling besar sepanjang sejarah Indonesia.
Pada 1998 BCA menjadi Bank Take Over (BTO) dan disertakan dalam program rekapitalisasi dan restrukturisasi yang dilaksanakan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
Lalu pada 1999 proses rekapitalisasi BCA selesai, di mana Pemerintah Indonesia melalui BPPN menguasai 92,8% saham BCA sebagai hasil pertukaran dengan BLBI.
Dalam proses rekapitalisasi tersebut, kredit pihak terkait dipertukarkan dengan Obligasi Pemerintah.
Sejak saat itu, Grup Salim tak lagi menjadi pemegang pengendali saham BCA. Dan sepak terjang Grup Salim di industri perbankan juga mulai tak tampak.
BCA sebenarnya bisa saja membeli kembali BCA setelah keluar Surat Kesepakatan Bersama (SKB) yang dibuat oleh Bank Indonesia (BI) dan pemerintah yang memperbolehkan eks pemegang saham pengendali membeli sebagian atau seluruh sahamnya kembali dari BPPN setelah memenuhi Perjanjian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS).
Dalam SKB bernomor 117/KMK.017/1999 tersebut, disebutkan bahwa BPPN dapat menjual sebagian atau seluruh saham bank BTO kepada eks pemegang saham pengendali setelah memenuhi PKPS.
Setelah sekian lama keluar dari gelanggang perbankan Tanah Air, akhirnya pada Januari 2017, Grup Salim mewujudkan niatnya membeli bank dengan membeli saham PT Bank Ina Perdana Tbk (BINA).
Saat itu Grup Salim membeli 29,02% saham Bank Ina lewat NS Financials Fund sebesar 10,58% saham dan melalui NS Asean Financial Fund sebesar 18,44%.
Dalam keterbukaan informasi Bank Ina Perdana yang dipublikasikan pada 10 Januari 2020 di BEI, yang disampaikan Direktur Utama Bank Ina Daniel Budirahayu dan Direktur Kepatuhan Bank Ina Wardoyo, menyebutkan Grup salim resmi menjadi ultimate shareholder atau pemegang saham pengendali terakhir (PSPT) Bank Ina Perdana bersama pemilik Bali United (PT Bali Bintang Sejahtera Tbk/BOLA), Pieter Tanuri.
Informasi fakta material yang disampaikan yakni terjadi perubahan struktur kepemilikan saham Bank Ina, di mana perusahaan kendaraan investasi Grup Salim, PT Indolife Pensiontama menjadi pemegang saham pengendali.
Sebelumnya pemegang saham pengendali hanya dipegang oleh PT Philadel Terra Lestari milik pengusaha dan pemilik klub sepak bola Bali United (PT Bali Bintang Sejahtera Tbk/BOLA) Pieter Tanuri.
Menurut data per 2 Juni 2021, Indolife Pensiontama menggenggam 21,47% saham BINA, Lion Trust (Singapore) Ltd memilik 18,29%, PT Samudra Biru (16,51%), DBS Bank Ltd As Trustee of NS Financial Fund (10,49%). Kemudian, PT Gaya Hidup Masa Kini (9,98%), Philadel (7,53%) dan sisanya dipegang publik (14,72%).
TIM RISET CNBC INDONESIA
(adf/adf)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Semester I, Laba BCA Melesat 18% Jadi Rp 14,5 T
