
Aksi Buang Dolar AS Muncul Lagi, Emas Bakal Terbang Tinggi?

Jakarta, CNBC Indonesia - Dolar Amerika Serikat (AS) kurang menarik bagi para pelaku pasar saat ini, nilainya pun perlahan terus merosot. Emas, menjadi salah satu aset yang diuntungkan kala dolar AS menurun. Logam mulia ini berhasil kembali ke atas US$ 1.900/troy ons.
Kini, aksi buang dolar AS kembali terjadi, yang tercermin dari meningkatnya posisi jual (short) yang diambil pelaku pasar. Harga emas pun berpeluang terbang lebih tinggi lagi.
Pada Selasa (25/5/2021) pekan lalu, indeks dolar AS menyentuh level 89,535 yang merupakan level terendah sejak 8 Januari lalu. Jika dibandingkan dengan posisi tertinggi tahun ini 93,437 yang dicapai pada 31 Maret lalu, indeks dolar AS sudah jeblok 4,2%. Sementara saat ini indeks dolar AS berada di kisaran 90.
Tekanan bagi dolar AS kemungkinan masih akan terus berlanjut melihat tingginya posisi short yang diambil pelaku pasar.
Data dari Commodity Futures Trading Commission (CFTC) yang dirilis Jumat lalu menunjukkan posisi jual (short) dolar AS berada di level tertinggi sejak akhir Februari.
Nilai net short dolar AS pada pekan yang berakhir 25 Mei dilaporkan sebesar US$ 27,89 miliar, naik tajam dibandingkan posisi net short sepekan sebelumnya US$ 15,07 miliar.
Naiknya posisi net short tersebut menunjukkan banyak pelaku pasar yang memprediksi dolar AS akan melemah.
Buruknya kinerja dolar AS tersebut membuat harga emas dunia sepanjang pekan lalu menguat 1,2% ke US$ 1.902,64/troy ons, yang merupakan level tertinggi sejak 8 Januari lalu. Tidak hanya itu, emas kini sudah membukukan penguatan 4 pekan beruntun dengan persentase total 7,6%.
Momentum penguatan emas saat ini juga dikatakan cukup besar, dan dikatakan sulit untuk melawannya.
"Tidak ada gunanya melawan tren yang sedang terjadi di emas saat ini," kata kepala strategi pasar forexlive.com, Adam Button, sebagaimana dilansir Kitco, Jumat (31/5/2021).
Selain jebloknya dolar AS, ekspektasi tingginya inflasi di Negeri Paman Sam juga memberikan momentum penguatan ke emas.
Departemen Tenaga Kerja AS pada Jumat (28/5/2021) lalu melaporkan data inflasi berdasarkan personal consumption expenditure (PCE). Data tersebut merupakan inflasi acuan bagi bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed).
Inflasi PCE inti dilaporkan tumbuh 3,1% year-on-year (yoy) di bulan April, jauh lebih tinggi ketimbang bulan sebelumnya 1,8% yoy. Rilis tersebut juga lebih tinggi ketimbang hasil survei Reuters terhadap para ekonomi yang memprediksi kenaikan 2,9%. Selain itu, rilis tersebut juga merupakan yang tertinggi sejak Juli 1992, nyaris 30 tahun terakhir.
Emas secara tradisional dianggap sebagai aset lindung nilai terhadap inflasi. Ketika inflasi tinggi maka permintaannya akan meningkat, harganya pun naik.
"Emas perlahan akan naik. Jika ekspektasi inflasi semakin tinggi, maka emas akan menjadi pelarian pelaku pasar. Satu hal yang perlu kita perhatikan adalah dolar AS. Jika indeks dolar AS kembali ke level 93 hingga 94, maka akan sulit bagi emas untuk melanjutkan penguatan. Sementara jika indeks dolar AS di kisaran 90, maka akan bagus bagi emas," kata John Meyer, co-director di Walsh Trading, sebagaimana dilansir Kitco, Jumat (28/5/2021).
Banyak analis memprediksi setelah berhasil melewati US$ 1.900/troy ons, maka target harga emas berikutnya adalah kembali ke atas US$ 2.000/troy ons.
Prediksi yang ekstrim pun kembali muncul, emas dikatakan bisa ke atas US$ 5.000/troy ons oleh Scott Minerd selaku CIO Guggenheim's. Selain inflasi, ia melihat jebloknya mata uang kripto membuat emas akan kembali menarik.
"Saat uang meninggalkan kripto dan orang-orang masih mencari aset untuk lindung nilai dari inflasi, emas dan perak akan menjadi tempat investasi yang baik." kata Minerd, sebagaimana dilansir Kitco.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Pelantikan Biden & Pelemahan Dolar, Sentimen Positif IHSG