
Dolar AS di Bawah Rp 14.300, Rupiah Runner-Up Asia!

Rupiah, dan mata uang negara-negara berkembang lainnya, memang sedang mendapat angin. Indeks mata uang negara berkembang yang digambarkan dengan MSCI EMFX menyentuh titik tertinggi sepanjang sejarah pada 25 Mei lalu.
"Komentar yang terus-menerus dari para pejabat The Fed (The Federal Reserve, bank sentral AS) yang menekankan soal kebijakan akomodatif menekan yield (imbal hasil) obligasi pemerintah AS. Ini membuat dolar AS tertahan dan mendorong risk appetite," kata Andre Cilliers, Currency Strategist di TreasuryONE, seperti dikutip dari Reuters.
Dalam beberapa hari terakhir, sejumlah pejabat The Fed memberi komentar soal prospek inflasi di Negeri Adidaya. Intinya, The Fed memandang inflasi masih akan rendah dan kalaupun ada risiko lonjakan tetapi niscaya bisa ditangani dengan baik.
Inflasi menjadi kunci. Seberapa cepat laju inflasi akan menentukan kapan The Fed akan mulai mengetatkan kebijakan moneter.
"Kita sedang memasuki periode rebound. Saya memang memperkirakan inflasi akan meninggi, tetapi lebih karena efek tahun lalu yang rendah. Harga-harga naik karena turun begitu dalam ketika pandemi, ditambah peningkatan permintaan," kata Lael Brainard, Anggota Dewan Gubernur The Fed, seperti dikutip dari Reuters.
"Betul, kita akan melihat inflasi yang lebih tinggi. Namun sebagian besar bersifat temporer. Akan tiba saatnya kita akan bicara soal perubahan kebijakan moneter, tetapi tidak sekarang saat pandemi belum usai," kata James Bullard, Presiden The Fed cabang St Louis, dalam wawancara dengan Yahoo Finance.
"Kita semua harus bersabar (soal perubahan arah kebijakan moneter). Kenaikan suku bunga masih jauh di masa depan," tegas Randal Quarles, Kepala Dewan Stabilitas Keuangan The Fed, seperti diwartakan Reuters.
"Saat aktivitas ekonomi lebih dibuka lagi, maka tekanan harga akan mereda dengan sendirinya. Namun apabila tekanan harga ternyata lebih persisten dan mengancam mandat kami, maka kami akan melakukan sesuatu," sebut Richard Clarida, Wakil Ketua The Fed, sebagaimana diberitakan Yahoo Finance.
Berbagai komentar dari para pejabat The Fed ini meyakinkan pasar bahwa pengetatan kebijakan moneter di Negeri Stars and Stripes masih jauh panggang dari api. Artinya, berinvestasi di aset-aset berbasis dolar AS (terutama instrumen berpendapatan tetap seperti obigasi) menjadi kurang menarik. Permintaan dolar AS menjadi kurang sehingga nilai tukarnya melemah dan rupiah jadi punya ruang untuk menyalip.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
