Meski Masih Dijual-jualin Pelaku Pasar, Rupiah Tetap Berjaya!

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
07 May 2021 16:53
Ilustrasi Rupiah dan dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: Ilustrasi Rupiah dan dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Di bulan Maret lalu, capital outflow di pasar obligasi Indonesia sekitar Rp 20 triliun yang membuat rupiah tertekan. Tetapi memasuki bulan April kondisinya berbalik, pasar obligasi Indonesia kembali menarik setelah yield obligasi (Treasury) AS perlahan menurun. Di pasar sekunder, kepemilikan obligasi oleh investor asing menunjukkan peningkatan.

Melansir data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, Surat Berharga Negara (SBN) yang dimiliki asing tercatat senilai Rp 964,6 triliun di akhir April, terjadi capital inflow Rp 13,2 triliun dibandingkan posisi akhir Maret.

Sementara pada periode 1 sampai 4 Mei capital inflow tercatat Rp 1,16 triliun.

Sementara itu di pasar primer, lelang Surat Utang (SUN) pemerintah Selasa pekan lalu mulai ramai peminat. Incoming bid mencapai Rp 52,75 triliun, sedangkan pada lelang SUN sebelumnya sebesar Rp 42,97 triliun.

Pemerintah menetapkan target indikatif sebesar Rp 30 triliun dan yang dimenangkan sebesar Rp 28 triliun lebih baik dari lelang sebelumnya Rp 24 triliun.

Tren tersebut masih berlanjut di pekan ini. Lelang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) yang dilakukan Selasa (4/5/2021) juga menunjukkan hasil yang sama. Pemerintah menetapkan target indikatif Rp 10 triliun, dan penawaran yang dimasuk sebesar Rp 19 triliun, nyaris 2 kali lipat. Dari total penawaran yang masuk dimenangkan sebesar Rp 10 triliun, sesuai dengan target.

Masuknya aliran modal ke pasar obligasi menjadi tenaga bagi rupiah untuk menguat. Selain itu, "sang penjaga" rupiah, Bank Indonesia (BI) punya lebih banyak amunisi untuk menstabilkan rupiah di saat terjadi gejolak.

BI pagi tadi melaporkan cadangan devisa (Cadev) kembali meningkat di April lalu setelah tergerus sebulan sebelumnya. Kenaikan tersebut bahkan membuat Cadev kembali ke rekor tertinggi sepanjang masa US$ 138,8 miliar.

Sementara itu pada Rabu (5/5/2021) lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada tiga bulan pertama 2021 mengalami kontraksi (minus) 0,96% dibandingkan kuartal sebelumnya (quarter-to-quarter/qtq). Sementara dibandingkan periode yang sama tahun lalu (year-on-year/yoy), ekonomi Indonesia terkontraksi 0,74%.

Realisasi ini tidak jauh dari ekspektasi pasar, bahkan sedikit lebih baik. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan PDB terkontraksi 1,09% qtq, sementara secara tahunan diperkirakan terjadi kontraksi 0,87% yoy.

Dengan demikian, kontraksi PDB Indonesia genap terjadi selama empat kuartal beruntun. Artinya, Indonesia masih terjebak di 'jurang' resesi ekonomi.

Meski demikian, dengan kontraksi yang lebih baik dari prediksi, kebangkitan ekonomi di kuartal II-2021 tentunya berpeluang lebih tinggi dari proyeksi, yang menjadi sentimen positif bagi rupiah.

Selain itu, hasil survei terbaru Reuters menunjukkan dalam 3 bulan ke depan dolar AS akan melemah.

"Sepertinya kita masih akan menjalani tren pelemahan dolar AS, dan itu akan terjadi dalam beberapa waktu ke depan. Sekarang pertanyaannya, apakah mata uang lain bisa memanfaatkan itu?" tegas Kit Juckes, Head of FX Strategist di Societe Generale, seperti dikutip dari Reuters.

Nah, para responden memperkirakan mata uang yang bisa memanfaatkan tren pelemahan dolar AS adalah mata uang yang bersifat commodity currency. Artinya, mata uang suatu negara yang mengandalkan komoditas sebagai barang dagangan utama.

Rupiah adalah salah satu mata uang itu, meski korelasinya masih belum kuat. Ekspor Indonesia didominasi oleh komoditas, utamanya minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) dan batu bara. Ketika harga dua komoditas itu naik, maka Indonesia akan menikmati pasokan valas yang melimpah sehingga peluang penguatan rupiah jadi lebih besar.

TIM RISET CNBC INDONESIA

(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular