
Siapkan Sabuk Pengaman, Dolar Siap-Siap Ngamuk Nih

Meski pertumbuhan ekonomi AS sangat tinggi di tahun ini, tetapi dolar AS malah melemah 2 pekan terakhir melawan rupiah. Sebabnya, The Fed yang dengan tegas mengatakan belum akan merubah kebijakan moneternya meski perekonomian AS tumbuh lebih tinggi dari prediksi.
Dalam pengumuman kebijakan moneter Kamis dini hari waktu Indonesia, The Fed memutuskan mempertahankan suku bunga acuan 0,25% serta program pembelian obligasi (quantitative easing/QE) senilai US$ 120 miliar per bulan. Suku bunga The Fed baru akan dinaikkan setidaknya di tahun 2023.
Pertumbuhan ekonomi yang kuat di tahun ini dikatakan karena program vaksinasi serta dukungan kebijakan moneter dan fiskal.
"Di tengah kemajuan program vaksinasi serta dukungan kebijakan yang kuat, indikator perekonomian serta tenaga kerja telah menunjukkan penguatan," tulis komite pembuat kebijakan The Fed (FOMC).
Meski demikian, tingginya pertumbuhan ekonomi dinilai hanya sementara, dan masih belum merata sehingga kebijakan moneter ultra longgar masih diperlukan.
"Pemulihan ekonomi masih belum merata dan masih jauh dari kata selesai. Inflasi dalam beberapa bulan ke depan akan tinggi, tetapi kenaikan tersebut cenderung memiliki efek sementara" kata ketua The Fed, Jerome Powell dalam konferensi pers sebagaimana dikutip CNBC International, Kamis (29/4/2021).
Powell sekali lagi menegaskan saat ini bukan waktu yang tepat untuk membicarakan pengetatan moneter, termasuk pengurangan nilai QE.
"Kita masih memerlukan waktu beberapa lama untuk bisa melihat kemajuan pemulihan ekonomi yang substansial," tambah Powell.
David Mericle ekonom di Goldman Sachs mengatakan ia melihat The Fed baru akan memberikan petunjuk pengurangan QE atau yang dikenal dengan istilah tapering pada semester II tahun ini.
Melansir CNBC International, Mericle melihat The Fed akan mulai melakukan tapering pada awal 2022, dengan pengurangan sebesar US$ 15 per bulan.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Mengingat Kembali Dampak Tapering The Fed Bagi Indonesia