Jakarta, CNBCÂ Indonesia -Â Nilai tukar rupiah stagnan melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Selasa (27/4/2021) setelah sempat melemah dan kembali ke atas Rp 14.500/US$. Kinerja rupiah bisa dikatakan cukup bagus sebab mayoritas mata uang utama Asia melemah.
Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan stagnan di Rp 14.480/US$. Setelahnya, rupiah langsung masuk ke zona merah, melemah hingga 0,17% ke Rp 14.505/US$.
Rupiah berhasil memangkas pelemahan hingga kembali stagnan pada penutupan perdagangan.
Sementara itu mayoritas mata uang utama Asia melemah pada hari ini. Hingga pukul 15:17 WIB, hanya 3 mata uang yang menguat, yakni rupee India, ringgit Malaysia, dan baht Thailand, itu pun tipis kurang sari 0,1%.
Berikut pergerakan dolar AS melawan mata uang utama Asia.
Indeks dolar AS yang berbalik menguat membuat mata uang utama Asia berguguran. Indeks dolar AS hingga sore ini naik 0,14% ke 90,933. Indeks yang mengukur kekuatan dolar AS ini Senin kemarin melemah tipis 0,06%, setelah merosot nyaris 1% pada pekan lalu. Indeks dolar AS bahkan sudah melemah dalam 3 pekan beruntun, dengan persentase 2,33%.
Kasus penyakit virus corona (Covid-19) yang kembali meningkat di Eropa membuat dolar AS yang menyandang status safe haven kembali menjadi sasaran investasi. Jerman, salah satu negara yang menghadapi kenaikan kasus Covid-19 dan sudah menerapkan aturan pembatasan aktivitas masyarakat yang lebih ketat dan bakal berlaku hingga Juni nanti.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> BoJ Tahan Suku Bunga -0,1%, dan Bisa Diturunkan Lagi
Dari Asia, pengumuman kebijakan moneter bank sentral Jepang (Bank of Japan/BoJ) menjadi perhatian. Sesuai prediksi pelaku pasar, tidak ada perubahan kebijakan dari Bank sentral negara dengan nilai ekonomi terbesar ketiga di dunia ini.
BoJ tetap mempertahankan suku bunga acuan sebesar negatif (-) 0,1%. Selain suku bunga negatif, BoJ juga mempertahankan kebijakan yield curve control, dimana yield obligasi tenor 10 tahun dijaga dekat 0%.
Dalam outlook terbaru yang diberikan hari ini, BoJ memproyeksikan inflasi inti di tahun fiskal 2021 yang dimulai bulan ini sebesar 0,1%, turun jauh ketimbang proyeksi yang diberikan bulan Januari lalu sebesar 0,5%. Penurunan proyeksi inflasi tersebut terjadi akibat pandemi Covid-19 yang melanda Jepang, bahkan memburuk lagi belakangan ini.
Inflasi inti di tahun fiscal 2022 diperkirakan sebesar 0,8% dan tahun selanjutnya 1%. Artinya suku bunga negatif di Jepang masih akan bertahan untuk waktu yang lama, bahkan ada peluang diturunkan lebih dalam lagi.
"Perekonomian Jepang akan pulih, meski tingkat aktivitasnya akan lebih rendah dari sebelum pandemi Covid-19," tulis BoJ dalam keterangan usai pengumuman kebijakan moneter, sebagaimana dikutip Reuters.
"Kami akan melonggarkan kebijakan moneter lebih jauh tanpa ragu jika diperlukan, jika dampak dari pandemi semakin memburuk."
Kebijakan BoJ tersebut membuat yen melemah 0,13% melawan rupiah di Rp 133,78/JPY.
Selain itu, pengumuman kebijakan BoJ tersebut memberikan gambaran dalam beberapa tahun ke depan kebijakan moneter bank sentral dunia masih akan tetap longgar. Bank sentral AS (The Fed) juga berulang kali menegaskan tidak akan menaikkan suku bunga hingga tahun 2023.
Hal tersebut tentunya membuka peluang bagi rupiah untuk menguat. The Fed akan mengumumkan kebijakan moneternya pada Kamis dini hari waktu Indonesia.
TIM RISET CNBC INDONESIA