Asing Kabur, Demam Kripto & BP Jamsostek Bikin Saham Merana

Monica Wareza, CNBC Indonesia
26 April 2021 14:55
Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)
Foto: Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pekan lalu, periode 19-23 April 2021 terjadi penurunan nilai transaksi di Bursa Efek Indonesia (BEI) dibandingkan dengan sepekan sebelumnya.

Berdasarkan data bursa, nilai rerata perdagangan selama lima hari di minggu lalu senilai Rp 8,65 triliun, turun 11,30% dibanding pekan sebelumnya yang senilai Rp 9,76 triliun.

Turunnya nilai perdagangan ini tidak lepas dari sentimen ekonomi global, terutama Amerika Serikat. Perkembangan perekonomian negara tersebut untuk awal tahun akan segera dirilis pekan ini dengan ekspektasi pasar bahwa hasilnya akan positif.

Direktur Utama PT Star Asset Management Reita Farianti mengatakan faktor utama pasar saham dalam negeri cenderung sepi lantaran kekhawatiran investor global terhadap kenaikan inflasi Amerika Serikat yang akan lebih tinggi dari ekspektasi. Hal ini dapat memaksa The Fed, bank sentral Amerika Serikat untuk melakukan tapering.

Hal tersebut ditandai dengan naiknya yield obligasi 10 tahun AS dari 0.91% di akhir Desember 2020 menjadi 1.74% pada akhir Maret 2021 serta penguatan dolar Amerika Serikat.

"Di saat seperti ini investor global cenderung menghindari negara-negara emerging markets, termasuk Indonesia yang dinilai high risk dan lebih memilih masuk ke pasar saham AS atau kelas aset lain yang mereka pandang lebih aman," kata Reita kepada CNBC Indonesia pekan lalu.

Tak hanya investor asing, namun investor institusi dalam negeri juga memilih untuk mulai berhati-hati dan cenderung mengambil jalan wait and see. Belum lagi para investor ini juga menantikan rilis data kinerja emiten untuk periode akhir Maret 2021.

Dia menyebutkan, saat ini manajer investasi cenderung menantikan sejumlah katalis positif yang akan mendorong pergerakan indeks saham. Seperti penawaran umum saham perdana (initial public offering/IPO) perusahaan teknologi besar yang diharapkan dapat terjadi tahun ini. Hal ini dinilai dapat menarik dana investor asing masuk dan membuat IHSG kembali bergairah.

Selanjutnya adalah program vaksinasi massal yang saat ini sedang berjalan. Reita mengatakan emakin cepat vaksinasi selesai, semakin cepat pula ekonomi untuk pulih dan bertumbuh.

"[Ketiga] Omnibus law dan SWF yang diharapkan dapat meningkatkan FDI masuk secara signifikan," tandasnya.

Nyatanya, penurunan nilai perdagangan saham ini dinilai juga disebabkan karena kebijakan BPJS Ketenagakerjaan atau BP Jamsostek yang memutuskan untuk mengurangi porsi saham dalam portofolio investasinya.

Direktur Panin Asset Management Rudiyanto menilai sentimen BP Jamsostek cukup pengaruh ke pasar, mengingat BPJS merupakan investor institusi yang mengelola dana besar yang sanggup bersaing dengan investor asing. Hal ini yang menyebabkan bursa saham relatif sepi transaksi belakangan ini.

"Pengaruh, secara sentimen jelas ada. BPJS sendiri merupakan investor dengan dana besar yang sanggup head to head dengan asing. Jadi kalau mereka tidak aktif, maka bursanya juga mungkin akan kekurangan daya pendorong," terangnya.

Padahal, kata dia, BP Jamsostek sejauh ini selalu surplus dari iuran yang diperolehnya setiap tahun.

Hal ini pun diakui oleh manajemen bursa. Direktur Perdagangan dan Pengaturan Anggota Bursa BEI Laksono Widodo mengatakan turunnya aktivitas pembelian sama BP Jamsostek ini mau tak mau akan memengaruhi aktivitas investasi institusi lainnya. Hal ini juga mau tak mau berdampak pada turunnya nilai transaksi dan sepinya perdagangan saham.

"Turun nya transaksi dari BPJS TK cukup berpengaruh terhadap aktivitas transaksi investors khusus nya institusi domestik yang memiliki kemiripan dengan BPJS TK (Taspen, Dapen dll)," kata Laksono di Jakarta, Jumat (23/4/2021).

"BPJS TK dianggap sebagai leader atau mercusuar bagi institusi-institusi domestik tersebut sehingga pasang surut nya aktivitas BPJS TK akan mempengaruhi tindakan institusi-institusi tersebut," lanjutnya.

Sentimen lainnya yang saat ini juga sedang terjadi adalah ramai-ramainya investor beralih dari pasar saham ke mata uang kripto alias cryptocurrency.

Hal ini juga diakui oleh Laksono, meski hingga saat ini masih belum ada data konkret mengenai hal tersebut.

Untuk diketahui, nilai transaksi saham di bursa itu tergolong sepi mengingat nilai transaksinya tidak lebih tinggi daripada rerata transaksi harian 2020 Rp 9,21 triliun.

Sebagai pembanding lain, nilai transaksi Rp 8 triliun itu juga masih lebih lemah dibanding rerata transaksi harian pada 2019 lalu yakni Rp 9,1 triliun.

Nilai ini bahkan masih jauh tertinggal dari nilai transaksi di awal tahun ini. Di mana secara berturut-turut pada Januari, Februari, dan Maret nilai perdagangan di BEI mencapai Rp 20 triliun, Rp 15 triliun, dan Rp 11 triliun per hari.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular