
Asing Kabur, Demam Kripto & BP Jamsostek Bikin Saham Merana

Jakarta, CNBC Indonesia - Pekan lalu, periode 19-23 April 2021 terjadi penurunan nilai transaksi di Bursa Efek Indonesia (BEI) dibandingkan dengan sepekan sebelumnya.
Berdasarkan data bursa, nilai rerata perdagangan selama lima hari di minggu lalu senilai Rp 8,65 triliun, turun 11,30% dibanding pekan sebelumnya yang senilai Rp 9,76 triliun.
Turunnya nilai perdagangan ini tidak lepas dari sentimen ekonomi global, terutama Amerika Serikat. Perkembangan perekonomian negara tersebut untuk awal tahun akan segera dirilis pekan ini dengan ekspektasi pasar bahwa hasilnya akan positif.
Direktur Utama PT Star Asset Management Reita Farianti mengatakan faktor utama pasar saham dalam negeri cenderung sepi lantaran kekhawatiran investor global terhadap kenaikan inflasi Amerika Serikat yang akan lebih tinggi dari ekspektasi. Hal ini dapat memaksa The Fed, bank sentral Amerika Serikat untuk melakukan tapering.
Hal tersebut ditandai dengan naiknya yield obligasi 10 tahun AS dari 0.91% di akhir Desember 2020 menjadi 1.74% pada akhir Maret 2021 serta penguatan dolar Amerika Serikat.
"Di saat seperti ini investor global cenderung menghindari negara-negara emerging markets, termasuk Indonesia yang dinilai high risk dan lebih memilih masuk ke pasar saham AS atau kelas aset lain yang mereka pandang lebih aman," kata Reita kepada CNBC Indonesia pekan lalu.
Tak hanya investor asing, namun investor institusi dalam negeri juga memilih untuk mulai berhati-hati dan cenderung mengambil jalan wait and see. Belum lagi para investor ini juga menantikan rilis data kinerja emiten untuk periode akhir Maret 2021.
Dia menyebutkan, saat ini manajer investasi cenderung menantikan sejumlah katalis positif yang akan mendorong pergerakan indeks saham. Seperti penawaran umum saham perdana (initial public offering/IPO) perusahaan teknologi besar yang diharapkan dapat terjadi tahun ini. Hal ini dinilai dapat menarik dana investor asing masuk dan membuat IHSG kembali bergairah.
Selanjutnya adalah program vaksinasi massal yang saat ini sedang berjalan. Reita mengatakan emakin cepat vaksinasi selesai, semakin cepat pula ekonomi untuk pulih dan bertumbuh.
"[Ketiga] Omnibus law dan SWF yang diharapkan dapat meningkatkan FDI masuk secara signifikan," tandasnya.
Nyatanya, penurunan nilai perdagangan saham ini dinilai juga disebabkan karena kebijakan BPJS Ketenagakerjaan atau BP Jamsostek yang memutuskan untuk mengurangi porsi saham dalam portofolio investasinya.