Kalau Ngomongin Utang, Ternyata BUMN Rajanya

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
16 April 2021 15:15
Badan Usaha Milik Negara (BUMN). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Badan Usaha Milik Negara (BUMN). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Utang memang bisa meningkatkan produktivitas jika digunakan dengan bijak. Namun jika mengambil utang dengan ugal-ugalan tanpa pertimbangan matang maka hanya akan menjadi bom waktu. 

Saat kondisi sulit seperti resesi ekonomi tahun lalu. Utang menjadi solusi utama untuk menyelamatkan perekonomian. Baik korporasi maupun negara cenderung mencari utangan. 

Namun sayang di dalam negeri pasar keuangan yang belum berkembang membuat akses pendanaan korporasi masih sangat tergantung pada perbankan.

Di sisi lain pemerintah juga membanjiri pasar dengan menerbitkan instrumen utang yang kuponnya lebih menarik dari tabungan dan deposito sehingga memunculkan fenomena crowding out

Bayangkan saja dari total nilai outstanding instrumen utang di pasar modal dalam negeri pangsa surat utang korporasi hanya menyumbang di bawah 5% saja. Sisanya dikuasai oleh pemerintah. 

Bank sebagai lembaga keuangan yang siklikal akan cenderung main aman dan mengerem laju penyaluran kredit ketika ekonomi sedang kurang sehat. Lantas ketika pemerintah menguasai pasar dan bank mengerem kredit ke mana para korporasi harus meminjam?

Beberapa BUMN bisa menerbitkan obligasi di pasar internasional dalam denominasi asing. Namun di saat yang sama hal ini menunjukkan bahwa permasalahannya bukan hanya utang yang semakin menggunung tetapi juga akses pendanaan yang cenderung terbatas. 

Lihat saja sepanjang tahun lalu. Ketika dana pihak ketiga (DPK) bank naik, kredit direm dan porsi kepemilikan surat berharga bank-bank cenderung meningkat. 

Toh kalau pun pemerintah memberikan suntikan modal langsung lewat PMN apakah bisa langsung sehat? Kan tidak juga. Lagipula dari sekian banyak penugasan yang diberikan ke BUMN pemerintah juga masih memiliki tunggakan pembayaran kepada BUMN yang cairnya butuh bertahun-tahun. 

Utang pemerintah pusat memang masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan negara lain maupun ambang batas yang diamanatkan oleh undang-undang. Namun melihat BUMN yang sekarat akibat utang pemerintah tentu saja tak bisa berdiam diri. 

Salah satu upaya untuk menyehatkan kembali 'anak-anaknya' yang sedang sakit dan sekarat pemerintah lewat Kementerian BUMN berupaya mendorong privatisasi BUMN dan anak usahanya lewat penawaran perdana saham guna meraih pendanaan non utang. 

Keberadaan SWF (INA) juga digunakan sebagai salah satu alternatif solusi pendanaan non-utang. Hanya saja Fitch Ratings dalam risetnya mengatakan bahwa deleveraging utang BUMN lewat INA tidak bisa terjad dalam waktu singkat mengingat modal INA masih relatif kecil dibandingkan dengan utang BUMN terutama yang strategis. 

Fitch menilai, modal INA relatif kecil dibandingkan dengan skala utang di antara BUMN yang bergerak di sektor strategis, seperti konstruksi, jalan tol, dan minyak dan gas (migas).

Misalnya, total utang perusahaan konstruksi BUMN lebih dari Rp 170 triliun per akhir September 2020 dan utang PT Pertamina (Persero) sekitar Rp 300 triliun per akhir Juni 2020.

Bagaimanapun juga untuk saat ini masalah utang yang mencekik BUMN menjadi urgensi yang harus diprioritaskan oleh para pemangku kebijakan. Tata kelola yang profesional, efisien, transparan, akuntabel serta terbebas dari kepentingan politik haruslah menjadi pilar utama dalam menjalankan bisnis BUMN ini. 

TIM RISET CNBC INDONESIA

(twg/twg)
[Gambas:Video CNBC]


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular