
Dolar Sudah Kasih Jalan, Kenapa Rupiah Tak Bisa Nyalip?

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menguat di kurs tengah Bank Indonesia (BI). Namun di pasar spot, rupiah tidak bergerak.
Pada Rabu (14/4/2021), kurs tengah BI atau kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor berada di Rp 14.633. Rupiah menguat 0,1% dibandingkan posisi hari sebelumnya.
Nasib rupiah tidak seberuntung itu di perdagangan pasar spot. Kala penutupan pasar, US$ 1 setara dengan Rp 14.600, sama persis dengan posisi cosing kemarin alias stagnan.
Sayang sekali, stagnasi rupiah terjadi kala hampir seluruh mata uang Asia berhasil menguat di hadapan dolar AS. Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Benua Kuning di perdagangan pasar spot pada pukul 15:19 WIB:
Halaman Selanjutnya --> Dolar AS Sudah 'Beri Jalan'
Sekali lagi sayang, karena sejatinya dolar AS sudah 'memberi jalan' buat rupiah untuk menguat. Pada pukul 14:05 WIB, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) melemah 0,16%.
Di pasar Non-Deliverable Forwards (NDF), gerak rupiah sudah sejalan dengan itu. Dibandingkan posisi penutupan kemarin, rupiah menunjukkan penguatan.
Berikut perkembangan kurs rupiah dolar AS di pasar NDF pada pukul 14;08 WIB:
Periode | Kurs13 April (15:07 WIB) | Kurs 14 April (14:08 WIB) |
1 Pekan | Rp14.668,5 | Rp 14.635,5 |
1 Bulan | Rp14.726 | Rp 14.687 |
2 Bulan | Rp14.783,5 | Rp 14.740 |
3 Bulan | Rp14.843,5 | Rp 14.804,5 |
6 Bulan | Rp15.024,5 | Rp 14.985,5 |
9 Bulan | Rp 15.196 | Rp 15.157 |
1 Tahun | Rp 15.371 | Rp 15.337 |
2 Tahun | Rp 16.079 | Rp 16.038 |
Plus, investor asing juga sebenarnya masuk ke pasar keuangan Tanah Air. Di pasar saham, investor asing membukukan beli bersih Rp 305,68 miliar yang mengantar Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melesat 2,07%.
So, apa yang membuat rupiah masih belum bisa menguat? Sepertinya ini disebabkan oleh dinamika di pasar obligasi, khususnya Surat Berharga Negara (SBN).
Pada pukul 14:13 WIB, imbal hasil (yield) SBN tenor 10 tahun naik 3,9 basis poin (bps) menjadi 7,333%. Tidak hanya yang 10 tahun, kenaikan yield terjadi di sebagian besar tenor.
Yield dan harga obligasi memiliki hubungan terbalik. Ketika yield naik, artinya harga obligasi sedang turun karena maraknya aksi jual.
Berikut perkembangan yield SBN berbagai tenor pada pukul 14:40 WIB:
Halaman Selanjutnya --> Yield Makin Tinggi, Beban Pemerintah Kian Berat
Yield di pasar sekunder akan menjadi acuan untuk menentukan kupon di pasar perdana atau lelang. Dengan yield yang terus naik, maka kupon atau bunga yang harus dibayar pemernintah selaku penerbit obligasi akan semakin naik.
Beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) akan bertambah berat. Ada kekhawatiran pemerintah akan kerepotan membayar utang yang membengkak karena kebutuhan stimulus fiskal untuk mengatasi dampak pandemi.
"Fiskal yang berkelanjutan (sustainable) akan ditentukan oleh pertumbuhan ekonomi, tingkat suku bunga yang moderat, serta bagaimana mengelola eksposur mata uang," sebut riset Citi
Oleh karena itu, Citi menilai permintaan terhadap aset-aset di pasar keuangan Indonesia sepertinya masih akan lemah. Di pasar SBN, khususnya, penawaran yang masuk kemungkinan tetap rendah untuk beberapa waktu ke depan. Ini yang mendorong yield bergerak ke atas dan harga turun.
"Kami memperkirakan minat yang rendah dalam lelang masih akan bertahan sehingga kami menempatkan obligasi pemerintah di posisi underweight. Kami memperkirakan yield SBN tenor 10 tahun bisa naik melebihi 7% dalam beberapa pekan ke depan," lanjut riset Citi.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Sedang Tak Berharga, Dolar Makin Banyak 'Dibuang'
