Indeks Dolar AS Nyungsep, Rupiah kok Tak Mampu Menguat?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
14 April 2021 12:33
Ilustrasi Dollar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: Ilustrasi Dollar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah hingga pertengahan perdagangan Rabu (14/4/2021) belum mampu menguat melawan dolar Amerika Serikat (AS). Padahal, indeks dolar AS yang mengukur kekuatan mata uang Paman Sam, sedang nyungsep.

Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan stagnan di Rp 14.600/US$. Sempat menguat 0,14% ke Rp 14.580/US$, tetapi rupiah kembali stagnan dan tertahan di level tersebut hingga pukul 12:00 WIB.

Di sisa perdagangan hari ini, rupiah masih sulit untuk menguat, terlihat dari pergerakannya di pasar non-deliverable forward (NDF) yang lebih lemah ketimbang beberapa saat sebelum pembukaan perdagangan pagi tadi.

PeriodeKurs Puklul 8:54 WIBKurs Pukul 11:54 WIB
1 PekanRp14.635,50Rp14.652,5
1 BulanRp14.687,00Rp14.692,0
2 BulanRp14.744,50Rp14.751,0
3 BulanRp14.804,00Rp14.813,0
6 BulanRp14.985,50Rp14.994,0
9 BulanRp15.157,00Rp15.157,0
1 TahunRp15.337,00Rp15.354,0
2 TahunRp16.024,00Rp16.065,0

NDF adalah instrumen yang memperdagangkan mata uang dalam jangka waktu tertentu dengan patokan kurs tertentu pula. Pasar NDF belum ada di Indonesia, hanya tersedia di pusat-pusat keuangan internasional seperti Singapura, Hong Kong, New York, atau London.

Pasar NDF seringkali mempengaruhi psikologis pembentukan harga di pasar spot. Oleh karena itu, kurs di NDF tidak jarang diikuti oleh pasar spot.

Indeks dolar AS pada perdagangan Selasa kemarin turun 0,31% dan berlanjut 0,11% siang ini ke 91,752. Level tersebut merupakan yang terendah sejak 22 Maret lalu.
Indeks dolar AS tertekan setelah rilis data inflasi yang mengalami kenaikan, tetapi tidak terlalu tajam.

Inflasi AS yang dilihat dari consumer price index (CPI) bulan Maret dilaporkan tumbuh 2,6% year-on-year (YoY) dari bulan sebelumnya 1,7% YoY. Pertumbuhan tersebut lebih tinggi dari hasil survei Reuters sebesar 2,5% YoY.

Sementara inflasi inti yang tidak memasukkan sektor makanan dan energi dalam perhitungan tumbuh 1,6% YoY, dari bulan sebelumnya 1,3% YoY, dan lebih tinggi dari prediksi 1,5% YoY.

Kenaikan inflasi yang sedikit di atas prediksi tersebut direspon positif oleh pelaku pasar. Apalagi, kenaikan tersebut akibat low base effect, dimana pada Maret tahun lalu inflasi sangat rendah. Selain itu, The Fed memang memprediksi inflasi akan tinggi dalam beberapa bulan ke depan, sebelum kembali menurun.

Alhasil, bisik-bisik bank sentral AS (The Fed) akan menaikkan suku bunga di akhir tahun nanti tidak berubah menjadi "teriak-teriak".

Berdasarkan data dari perangkat FedWacth milik CME Group, pelaku pasar saat ini melihat probabilitas sebesar 6,7%, masih di bawah dua digit persentase.

Meski demikian, dolar AS masih menjadi primadona pelaku pasar jika dihadapkan dengan mata uang Asia termasuk rupiah.

Hal tersebut terlihat dari survei 2 mingguan yang dilakukan Reuters.

Survei tersebut menggunakan skala -3 sampai 3, angka negatif berarti pelaku pasar mengambil posisi beli (long) mata uang Asia dan jual (short) dolar AS. Semakin mendekati -3 artinya posisi long yang diambil semakin besar.

Sementara angka positif berarti short mata uang Asia dan long dolar AS, dan semakin mendekati angka 3, semakin besar posisi short mata uang Asia.

Survei terbaru yang dirilis Kamis (8/4/2021) menunjukkan angka untuk rupiah 0,59, naik dari dua pekan lalu 0,45. Artinya, semakin banyak pelaku pasar yang mengambil posisi jual rupiah. Tidak hanya rupiah, pelaku pasar juga mengambil posisi short semua mata uang Asia, dan lebih memilih dolar AS.

TIM RISET CNBC INDONESIA 


(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Sedang Tak Berharga, Dolar Makin Banyak 'Dibuang'

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular