
Inflasi di AS "Biasa Saja", Saatnya Rupiah Perkasa & Juara

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah hingga perdagangan Selasa kemarin masih kesulitan menguat melawan dolar Amerika Serikat (AS). Namun, ceritanya akan berbeda pada perdagangan hari ini, Rabu (14/4/2021).
Melansir data Refinitiv, kemarin rupiah melemah 0,07% ke Rp 14.600/US$, di awal pekan, juga membukukan pelemahan 0,21%. Tidak hanya itu, Rupiah sebelumnya juga melemah dalam 8 pekan beruntun dengan total 4,37%.
Rupiah pada perdagangan Selasa kemarin bergerak dalam rentang yang sangat sempit, Rp 14.580-14600/US$. Sebab, pelaku pasar menanti rilis data inflasi AS yang diperkirakan akan naik.
Kemarin malam, inflasi di AS memang dilaporkan naik. Kabar baiknya, kenaikan tersebut "biasa aja" tidak setinggi yang ditakutkan pelaku pasar. Alhasil, indeks indeks dolar AS merosot, begitu juga dengan yield obligasi (Treasury) AS.
Melansir data Refinitiv, indeks yang mengukur kekuatan dolar AS (DXY), pada perdagangan Selasa merosot 0,34% ke 91,823, yang merupakan level terendah sejak 23 Maret lalu. Sementara yield Treasury tenor 10 tahun turun 5,62 basis poin ke 1,6198%.
Penurunan kedua aset tersebut berpeluang membuat rupiah menguat pada perdagangan hari ini.
Inflasi AS yang dilihat dari consumer price index (CPI) bulan Maret dilaporkan tumbuh 2,6% year-on-year (YoY) dari bulan sebelumnya 1,7% YoY. Pertumbuhan tersebut lebih tinggi dari hasil survei Reuters sebesar 2,5% YoY.
Sementara inflasi inti yang tidak memasukkan sektor makanan dan energi dalam perhitungan tumbuh 1,6% YoY, dari bulan sebelumya 1,3% YoY, dan lebih tinggi dari prediksi 1,5% YoY.
Inflasi merupakan salah satu acuan bank sentral AS (The Fed) dalam menetapkan kebijakan moneternya. Perhitungan inflasi yang digunakan The Fed adalah personal consumption expenditure (PCE). Inflasi PCE baru akan dirilis pada 30 April nanti.
Meski demikian, inflasi CPI yang dirilis hari ini bisa memberikan gambaran apakah inflasi PCE naik atau turun. Data terakhir menunjukkan inflasi PCE tumbuh 1,4% YoY di bulan Maret, sementara inflasi inti PCE 1,6% YoY.
Kenaikan inflasi yang sedikit di atas prediksi tersebut direspon positif oleh pelaku pasar. Apalagi, kenaikan tersebut akibat low base effect, dimana pada Maret tahun lalu inflasi sangat rendah. Selain itu, The Fed memang memprediksi inflasi akan tinggi dalam beberapa bulan ke depan, sebelum kembali menurun.
Alhasil, bisik-bisik The Fed akan menaikkan suku bunga di akhir tahun nanti tidak berubah menjadi "teriak-teriak".
Berdasarkan data dari perangkat FedWacth milik CME Group, pelaku pasar saat ini melihat probabilitas sebesar 6,7%, masih di bawah dua digit persentase.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Analisis Teknikal
