
Pantas IHSG Babak Belur, Saham Emiten Big Cap Hancur Lebur!

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dibuka terkoreksi pada perdagangan pagi ini. Dibuka merah 0,07% ke level 5.944,52. IHSG sempat terdepresiasi 0,82% ke level 5.898,22 keluar dari zona 5.900.
Meskipun demikian terpantau pukul 09:46 WIB IHSG mulai bangkit dan memangkas koreksinya menjadi 0,23% ke level 5.935,11.
Di tengah galaunya gerak IHSG, saham-saham unggulan dengan kapitalisasi pasar raksasa di bursa ikut bergerak galau. Simak tabel berikut.
Tercatat saham dengan kapitalisasi pasar terbesar di bursa PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) terkoreksi 0,58% ke level harga Rp 30.150/unit. Di posisi kedua market cap terbesar, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) stagnan di level Rp 4.210/unit. Tercatat perbankan lain dengan kapitalisasi pasar terbesar keempat di bursa juga stagnan yakni PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) yang diam di level Rp 6.300/unit.
Berbeda dengan perbankan besar, PT Telkom Indonesia Tbk (TLKM) sukses naik tipis 0,60% ke level harga Rp 3.330/unit. Terakhir PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR) terkoreksi paling parah diantara saham kapitalisasi pasar besar lain yakni 1,19% di level Rp 6.250/unit.
Data inflasi yang akan dirilis hari ini akan dinanti pelaku pasar, dan disebut sebagai salah satu yang menjadi kekhawatiran. Sebab, inflasi di AS diperkirakan akan kembali ke level sebelum pandemi melanda, dan akan semakin tinggi dalam beberapa bulan ke depan. Jika itu terjadi, maka daya beli masyarakat akan menurun, begitu juga dengan margin korporasi akan tergerus, yang pada akhirnya akan memukul perekonomoian.
Inflasi juga merupakan salah satu acuan The Fed dalam menetapkan kebijakan moneternya. Jika inflasi terus menanjak maka ekspektasi kenaikan suku bunga akan semakin menguat, dan memukul SBN, rupiah, begitu juga IHSG.
Meski The Fed berulang kali menegaskan tidak akan menaikkan suku bunga hingga tahun 2023, tetapi pasar tidak percaya begitu saja. Sebab, The Fed sendiri merubah proyeksi pertumbuhan ekonomi AS tahun ini menjadi 6,5% dari prediksi sebelumnya 4,2%.
Besarnya revisi proyeksi pertumbuhan ekonomi tersebut tidak diikuti dengan pembaharuan panduan kebijakan yang akan diambil, sehingga menimbulkan tanda-tanya di pasar, apakah benar The Fed baru akan menaikkan suku bunga di tahun 2023.
"Kebijakan moneter saat ini diterapkan untuk menghadapi ketidakpastian yang ditimbulkan dari krisis Covid-19. Tetapi, dengan perekonomian yang terus menunjukkan perbaikan serta kemajuan dalam vaksinasi membuat sulit untuk memahami bagaimana kebijakan dikalibrasi dengan benar sekarang," kata Bob Miller, head of Americas fundamental fixed income di BlackRock, sebagaimana dilansirCNBC International, Kamis lalu.
"Stancemoneter yang darurat masih sama, meski saat ini tidak ada kondisi darurat" tambahnya.
Oleh karena itu, muncul bisik-bisik di pasar The Fed akan menaikkan suku bunga di akhir tahun ini. Berdasarkan data dari perangkat FedWacth milik CME Group, pelaku pasar saat ini melihat probabilitas sebesar 7,2% The Fed akan menaikkan suku bunga di akhir tahun nanti, turun dari pekan lalu sebesar 10%.
Rilis data inflasi hari ini bisa mempengaruhi probabilitas tersebut, dan berdampak pada pasar keuangan Indonesia Rabu besok. Sehingga rilis inflasi tersebut akan membuat pelaku pasar lebih berhati-hati pada hari ini.
Selain itu, rilis data neraca dagang China juga akan mempengaruhi pergerakan pasar keuangan hari ini. Maklum saja, China merupakan negara dengan nilai ekonomi terbesar kedua di dunia, data neraca dagang bisa menunjukkan bagaimana roda perekonomiannya berjalan, begitu juga secara global.
Jika impor mengalami kenaikan, artinya roda perekonomian China berputar dengan kencang, yang akan menguntungkan bagi negara-negara pengekspor komoditas seperti Indonesia. Begitu juga ketika ekspor China meningkat, berarti perekonomian global mulai membaik.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(trp/trp)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Jokowi Disuntik Vaksin Corona, Bursa RI Siap-siap ke 6.500