Tak Cuma Dolar AS, Rupiah Kalah dari Mata Uang Asia-Eropa

Chandra Dwi, CNBC Indonesia
11 April 2021 16:50
Ilustrasi Rupiah dan Dolar di Bank Mandiri
Foto: Ilustrasi Rupiah dan Dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Kinerja rupiah pada pekan ini belum menandakan tanda-tanda pulih seperti awal tahun ini. Namun jika dibandingkan dengan periode akhir Februari hingga akhir Maret 2021, pelemahan rupiah cenderung mulai menurun.

Di arena pasar spot, nilai tukar rupiah melemah 0,28% melawan dolar Amerika Serikat (AS) dalam sepekan terakhir. Kini untuk US$ 1 dibanderol di atas Rp 14.560. Padahal akhir minggu lalu nilai tukar rupiah masih berada di Rp 14.520/US$.

Apabila dibandingkan dengan mata uang Asia lainnya, sebenarnya greenback tak sekuat pada pekan sebelumnya. Pada pekan ini, mayoritas mata uang Asia masih mampu melawan sang greenback.

Hanya lima dari sebelas mata uang Asia yang masih kalah melawan dolar AS, yakni dolar Hong Kong, rupee India, yen Jepang, baht Thailand dan tentunya rupiah.

Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang Benua Kuning sepanjang pekan ini:

Sementara itu jika dihadapkan dengan sesama mata uang Asia Pasifik, rupiah hampir kalah telak melawan sebelas mata uang Asia Pasifik. Rupiah hanya menang dengan dua mata uang Asia, yakni menang dengan rupee India dan baht Thailand.

Berikut perkembangan rupiah melawan mata uang Asia Pasifik pada pekan ini:

Sementara itu di Eropa, rupiah hanya menang satu dari tiga mata uang utama Eropa, yakni hanya menang dengan poundsterling Inggris, sedangkan dengan euro dan franc Swiss, rupiah kalah telak.

Berikut perkembangan rupiah melawan mata uang utama Eropa pada pekan ini:

Sepanjang minggu ini duet maut imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun dan indeks dolar sebenarnya sedang turun. Yield yang semula mencapai 1,7% kini sudah melandai ke 1,65%. Sementara itu indeks dolar juga melemah nyaris 1% sepekan.

Momentum penurunan yield surat utang pemerintah AS juga dibarengi dengan penguatan harga surat berharga negara (SBN). Hal ini tercermin dari penurunan yield SBN tenor 10 tahun dari yang tadinya 6,6% menjadi 6,45%.

Bank Indonesia (BI) mencatat ada inflow ke SBN sebesar Rp 4,15 triliun dari non residen (asing) di pasar keuangan domestik pada periode 5 - 8 April 2021. Namun di pasar saham, asing masih membukukan aksi jual bersih senilai Rp 1,81 triliun. Sehingga secara neto inflow yang tercatat hanya Rp 2,34 triliun.

Penurunan indeks dolar dan inflow nyatanya tak bisa membuat rupiah bangkit dan turun dari level psikologis Rp 14.500/US$. Rupiah malah semakin menjauh dan terdepresiasi.

Bagaimanapun juga dolar AS masih berada di level tertingginya dalam satu bulan terakhir. Greenback untuk sementara waktu memang masih menjadi primadona para pelaku pasar.

Hal ini tercermin dari survei yang dilakukan oleh Reuters. Terlihat bahwa pelaku pasar cenderung mengambil posisi long (beli) terhadap greenback. Hasil survei Reuters digambarkan dengan angka -3 sampai 3. Semakin tinggi angkanya, maka investor semakin long terhadap dolar AS.

Survei Mata Uang Asia Dwi Mingguan ReutersFoto: Reuters
Survei Mata Uang Asia Dwi Mingguan Reuters

Dalam survei 8 April 2021, seluruh mata uang utama Asia berada di teritori positif. Rupiah berada di angka 0,59, paling parah adalah peso Filipina yaitu 0,91. Survei Reuters yang lain juga menunjukkan hal serupa.

Berdasarkan polling terhadap ahli strategi valuta asing (valas), dari 56 yang disurvei sebanyak 48 orang atau 85% memperkirakan dolar AS masih akan kuat setidaknya satu bulan lagi.

Dari 48 orang tersebut, sebanyak 11 orang memprediksi penguatan dolar AS akan berlangsung dalam tiga hingga enam bulan ke depan, sementara 16 orang mengatakan akan berlangsung lebih dari enam bulan lagi.

Penguatan dolar AS merespons prospek ekonomi Paman Sam yang lebih positif untuk tahun ini. Namun di saat yang sama The Fed kembali menegaskan stance kebijakan moneternya yang masih akan longgar.

Suku bunga acuan tak akan diutak-atik. Tapering tak akan dilakukan dalam waktu dekat. The Fed masih akan mengguyur likuiditas ke sistem keuangan lewat pembelian obligasi pemerintah untuk terus menopang perekonomian AS yang terhimpit pandemi.

Kebijakan tersebut akan membuat neraca (balance sheet) The Fed semakin menggembung. Pada dasarnya ada harapan rupiah akan menguat. Apalagi jika yield lanjut melandai dan dana asing mulai kembali berdatangan.

Namun bagaimanapun juga risiko dari ketidakpastian masih tinggi. Dalam sebulan terakhir kasus infeksi harian Covid-19 secara global meningkat 25%. Amerika Serikat dan India pun menjadi hotspot. Dengan risiko tersebut, pasar keuangan domestik masih berpeluang bergerak dengan volatilitas tinggi.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(chd/chd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Rupiah Sepekan: Kalah Lawan Dolar, Digilas Mata Uang Eropa

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular