
Dolar AS Sedang Jadi Primadona, Rupiah Harap Waspada!

Jakarta, CNBCÂ Indonesia -Â Dolar Amerika Serikat (AS) sedang jadi primadona pelaku pasar jika dibandingkan dengan mata uang utama Asia. Rupiah, bahkan membukukan pelemahan 8 pekan beruntun melawan the greenback.
Tanda dolar AS menjadi primadona pelaku pasar terlihat dari survei 2 mingguan yang dilakukan Reuters.
Survei tersebut menggunakan skala -3 sampai 3, angka negatif berarti pelaku pasar mengambil posisi beli (long) mata uang Asia dan jual (short) dolar AS. Semakin mendekati -3 artinya posisi long yang diambil semakin besar.
Sementara angka positif berarti short mata uang Asia dan long dolar AS, dan semakin mendekati angka 3, semakin besar posisi short mata uang Asia.
Survei terbaru yang dirilis Kamis (9/4/2021) kemarin menunjukkan angka positif untuk semua mata uang utama Asia. Artinya, pelaku pasar mengambil posisi jual mata uang tersebut, dan beli dolar AS.
Angka positif rupiah bertambah menjadi 0,59 dari dua pelan lalu 0,45. Pelaku pasar sudah mengambil posisi jual terhadap rupiah sejak 11 Maret, dan semakin besar. Hal tersebut bisa menjadi peringatan bagi rupiah, sebab sejak tahun lalu survei ini konsisten dengan pergerakan rupiah.
Ada 3 mata uang yang posisi jualnya mengalami penurunan, won Korea Selatan dari 0,65 menjadi 0,48, kemudian dolar Singapura serta ringgit Malaysia yang turun menjadi 0,3 dan 0,46.
Survei dari Reuters tersebut menyebutkan perkasanya dolar AS terjadi akibat tanda-tanda pemulihan ekonomi di Negeri Paman Sam yang jauh mengungguli wilayah atau negara lainnya.
Pelaku pasar bahkan mulai melihat peluang bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) akan menaikkan suku bunga di akhir tahun ini. Padahal ketua The Fed, Jerome Powell, berulang kali menegaskan suku bunga 0,25% akan ditahan setidaknya hingga tahun 2023.
Berdasarkan perangkat FedWatch milik CME Group, pelaku pasar melihat ada probabilitas sebesar 13% The Fed akan menaikkan suku bunga menjadi 0,5% pada bulan Desember 2021. Meski probabilitas tersebut kecil, tetapi terus mengalami kenaikan dari kemarin 10%, dan pekan lalu hanya 5,4%.
Jika data ekonomi AS terus menunjukkan perbaikan, tidak menutup kemungkinan probabilitas tersebut akan semakin meningkat. Apalagi, The Fed sendiri merubah proyeksi pertumbuhan ekonomi AS tahun ini menjadi 6,5% dari prediksi sebelumnya 4,2%.
Besarnya revisi proyeksi pertumbuhan ekonomi tersebut tidak diikuti dengan pembaharuan panduan kebijakan yang akan diambil, sehingga menimbulkan tanda-tanya di pasar, apakah benar The Fed baru akan menaikkan suku bunga di tahun 2023.
"Kebijakan moneter saat ini diterapkan untuk menghadapi ketidakpastian yang ditimbulkan dari krisis Covid-19. Tetapi, dengan perekonomian yang terus menunjukkan perbaikan serta kemajuan dalam vaksinasi membuat sulit untuk memahami bagaimana kebijakan dikalibrasi dengan benar sekarang," kata Bob Miller, head of Americas fundamental fixed income di BlackRock, sebagaimana dilansir CNBC International, Kamis (8/4/2021).
"Stance moneter yang darurat masih sama, meski saat ini tidak ada kondisi darurat" tambahnya.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Dolar AS Diramal Masih Kuat Satu Bulan ke Depan
