Alert! Ada Bad News buat Saham Emiten CPO, Simak

tahir saleh, CNBC Indonesia
08 April 2021 08:21
CPO
Foto: Antara Foto/Akbar Tado/via REUTERS

Head of Research PT Mirae Asset Sekuritas Indonesia, Hariyanto Wijaya, dalam risetnya pada 31 Maret lalu, menilai harga CPO kemungkinan akan kembali normal dalam beberapa bulan ke depan, sementara itu harga rata-rata (average selling price/ASP) full year 2021 akan lebih tinggi dari full year 2020.

"Harga spot CPO melonjak dari level terendah RM 2.022/ton pada 12 Mei 2020 menjadi RM 4.183/ton pada 25 Maret 2021 karena terganggunya pasokan minyak nabati karena efek keterlambatan waktu dari El Nino dan fenomena cuaca La Nina baru-baru ini yang menyebabkan tingkat persediaan CPO di Malaysia dan Indonesia, dua negara produsen CPO terbesar, turun ke level rendah," katanya dalam riset, dikutip CNBC Indonesia, Kamis (8/4/2021).

Dia memaparkan, dalam forum Palm Oil Conference (POC) 2021 pada 24 Maret 2021, tiga peramal CPO terkemuka, yaitu Thomas Mielke, Dr. James Fry, dan Dorab Mistry, sepakat bahwa kenaikan harga CPO tinggi yang tidak biasa saat ini tidak berkelanjutan, dan harus dinormalisasi pada bulan-bulan mendatang.

Dari kisaran CPO yang diramalkan dari ketiga peramal CPO terkemuka tersebut, dapat disimpulkan bahwa meskipun harga CPO dapat dinormalisasi dalam beberapa bulan mendatang, harga jual rata-rata CPO FY21 seharusnya lebih tinggi dari FY20.

Di sisi lain, di tengah proyeksi tersebut, ada kabar baru datang dari pasar sawit internasional. Pemerintah Sri Lanka melarang impor minyak sawit dan perkebunan kelapa sawit baru. Bahkan meminta produsen untuk mencabut perkebunan yang ada secara bertahap.

Dilansir dari Reuters, Presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa mengatakan keputusan ini diambil untuk membuat negara tersebut bebas dari perkebunan kelapa sawit dan konsumsi minyak sawit.

"Perusahaan dan entitas yang telah melakukan budidaya (kelapa sawit) tersebut akan diwajibkan untuk menghapusnya secara bertahap dengan pencabutan 10% sekaligus dan menggantinya dengan budidaya karet atau tanaman ramah lingkungan setiap tahun," kata Rajapaksa dalam sebuah pernyataan pada dikutip Kamis (8/4/2021).

Sementara para ahli lingkungan mengatakan produksi minyak sawit juga telah menyebabkan deforestasi yang meluas dan kerusakan ekosistem.

Langkah mengejutkan yang diambil Pemerintah Sri Lanka tentu membingungkan industri minyak nabati, sebab negara tersebut merupakan produsen utama minyak kelapa.

Bahkan impor minyak sawit dan jumlah perkebunan cukup meningkat dalam beberapa tahun terakhir di sana.

Berdasarkan data Asosiasi Industri Minyak Sawit, Sri Lanka memiliki sekitar 11.000 hektar perkebunan kelapa sawit, lebih dari 1% dari total area yang ditanami teh, karet dan kelapa.

Selain itu, Sri Lanka juga mengimpor sekitar 200.000 ton minyak sawit setiap tahun, terutama dari Indonesia dan Malaysia, perkiraan para pedagang. Industri minyak sawit Sri Lanka telah menginvestasikan 26 miliar rupee Sri Lanka atau sekitar Rp 1,8 triliun (asumsi Rp 72.64/rupee Sri Lanka).

(tas/tas)
[Gambas:Video CNBC]


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular