Jakarta, CNBC Indonesia - Obligasi atau Surat Berharga Negara (SBN) sepertinya sedang kurang menarik bagi investor belakangan ini. Dalam beberapa lelang terakhir, jumlah yang dimenangkan selalu lebih rendah dari target indikatif.
Tidak hanya saat lelang, di pasar sekunder pun investor asing banyak melepas kepemilikannya. Alhasil, rupiah menjadi kurang tenaga, dan melemah pada kuartal I-2021.
Lelang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau Sukuk Negara yang dilakukan Selasa kemarin kembali di bawah target indikatif. Pemerintah memenangkan Rp 7,34 triliun dari target indikatif yang ditetapkan sebesar Rp 10 triliun.
Nilai penawaran yang masuk sebesar Rp 14,6 triliun, menurun ketimbang lelang 23 Maret sebesar Rp 17,2 triliun. Pemerintah kemudian menetapkan lelang tambahan (greenshoe option) pada hari ini.
Lelang Surat Utang Negara (SUN) juga bernasib sama, pada 30 Maret lalu. Dari target indikatif sebesar Rp 30 triliun, yang dimenangkan hanya Rp 4,75 triliun. Sehingga sehari setelahnya diadakan lelang tambahan.
Penawaran yang masuk pada lelang 30 Maret tersebut sebesar Rp 33,95 triliun, turun ketimbang lelang sebelumnya pada 16 Maret sebesar Rp 40,1 triliun. Sementara pada 2 Maret lalu, penawaran yang masuk saat lelang SUN sebesar 49,7 triliun.
Penurunan nilai penawaran yang masuk tersebut mencerminkan kurang menariknya obligasi Indonesia. Hal tersebut terjadi karena yield obligasi (Treasury) Amerika Serikat yang terus menanjak hingga ke atas 1,7% untuk tenor 10 tahun. Level tersebut merupakan yang tertinggi sejak Januari 2020, dan sudah naik tajam ketimbang posisi akhir 2020 di kisaran 0,9%.
Kenaikan yield Treasury tersebut membuat selisihnya dengan SBN menjadi menipis yang membuat SBN menjadi kurang menarik. Alhasil, mengimbangi kenaikan yield Treasury, yield SBN tenor 10 tahun juga menanjak, kini berada di kisaran 6,5% dibandingkan akhir tahun lalu 6%, bahkan sempat ke bawahnya di awal Januari lalu.
Tingginya yield SBN tersebut menjadi salah satu alasannya nilai lelang yang dimenangkan jauh di bawah target indikatif.
Sementara di pasar sekunder, terjadi capital outflow yang besar. Data dari DJPPR menunjukkan sepanjang bulan Maret terjadi capital outflow sebesar Rp 20 triliun di pasar obligasi. Di saat yang sama, rupiah melemah 2%, sementara sepanjang kuartal I-2021 sebesar 3,42%.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Masalah Datang Dari Amerika Serikat, Bukan Dalam Negeri
Bank Indonesia (BI) sejak tahun lalu sudah 6 kali menurunkan suku bunga acuan (7 Day Reverse Repo Rate), masing-masing 25 basis poin sehingga totalnya 150 basis poin. Suku bunga acuan saat ini berada di 3,5% dan merupakan yang terendah sepanjang sejarah.
Penurunan suku bunga tersebut dilakukan untuk membantu perekonomian yang mengalami resesi akibat pandemi virus corona (Covid-19).
Penurunan suku bunga tersebut berdampak pada penurunan yield obligasi. Di tahun ini, pemerintah sukses menerbitkan obligasi dengan yield terendah sepanjang sejarah. Global bond yang diterbitkan pada Januari lalu yield-nya terendah sepanjang sejarah di semua tenor.
"Untuk seri-seri dengan denominasi USD, initial price guidance berada pada area 2.350% untuk tenor 10 tahun, area 3.550% untuk tenor 30 tahun dan area 3.850% untuk tenor 50 tahun. Dengan profil kredit Indonesia yang sangat baik di mata investor, transaksi ini berhasil mendapatkan orderbook yang dalam dan berkualitas sehingga final price guidance dapat ditekan hingga 45bps ke 1,900% untuk tenor 10 tahun, 3,100% untuk tenor 30 tahun dan 3,400% untuk tenor 50 tahun" tulis keterangan resmi Direktorat Jenderal Pembiayaan dan Pengelolaan Risiko Kementerian Keuangan dalam rilisnya 12 Januari lalu.
Sementara SBN ritel SRO14 juga mencatat kupon terendah sepanjang sejarah 5,47% pada Maret lalu. Sehingga, jika BI kembali menaikkan suku bunga, maka yield SBN akan kembali naik dan menarik bagi investor.
Tetapi sepertinya opsi tersebut tidak akan diterapkan, sebab suku bunga rendah diperlukan untuk memacu perekonomian yang belum lepas dari resesi.
Menurut ekonom senior Chatib Basri apa yang terjadi saat ini datang dari luar negeri, khususnya Amerika Serikat, bukan masalah dari dalam negeri. Hal ini terkait dengan kenaikan tajam yield Treasury AS.
"Menurut saya nggak ada (persoalan dari Indonesia). Persoalan itu dari AS," ungkap Ekonom Senior Chatib kepada CNBC Indonesia, Rabu (23/3/2021).
Yield Treasury terus menanjak meski bank sentral AS (The Fed) menegaskan tidak akan merubah kebijakan moneternya dalam waktu dekat, meski pemulihan ekonomi AS lebih cepat dari prediksi sebelumnya.
Menurut Chatib pelaku pasar tidak begitu percaya dengan pernyataan The Fed. Sehingga pasar bergerak sebaliknya, yield Treasury terus saja naik mengabaikan Bank Sentral. Pasar lebih memilih mengambil posisi sebelum kenaikan suku bunga acuan benar akan dinaikkan.
"Makanya disebut tantrum without tapering. Jadi yang terjadi sekarang adalah adu kuat antara market dan The Fed," tegas Chatib.
Dari dalam negeri, menurut Chatib sudah cukup baik. Pemulihan ekonomi terus berlanjut sejak kuartal III-2020 pasca kontraksi dalam 5,32% di kuartal sebelumnya. Pengendalian Covid juga semakin baik serta vaksinasi yang terus berjalan.
"Dalam negeri, pemerintah hanya perlu melanjutkan agar vaksinasi berjalan cepat dan lancar," ujarnya.
TIM RISET CNBC INDONESIA