Jika Rupiah Tak Tertekan, Apakah BI Akan Turunkan Suku Bunga?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
06 April 2021 19:00
mata uang rupiah dolar dollar Bank Mandiri
Foto: Ilustrasi Rupiah dan Dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Rendahnya inflasi di Indonesia sebenarnya memberikan ruang bagi Bank Indonesia (BI) untuk kembali menurunkan suku bunga. Namun, pada pengumuman rapat hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) edisi Maret, BI mempertahankan suku bunga di rekor terendah sepanjang sejarah 3,5%, dengan alasan menjaga stabilitas rupiah.

"Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 17-18 Maret 2021 memutuskan untuk mempertahankan BI 7-Day Reverse Repo Rate sebesar 3,5%, suku bunga Deposit Facility sebesar 2,75%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 4,25%. Keputusan ini sejalan dengan perlunya stabilitas nilai tukar rupiah dari ketidakpastian keuangan global di tengah inflasi yang tetap rendah," kata Perry Warjiyo, Gubernur BI, dalam jumpa pers usai RDG, Kamis (18/3/2021).

Laju inflasi Indonesia sebenarnya dalam dalam tren melambat, yang bisa memberikan ruang bagi BI untuk menurunkan suku bunga.

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, inflasi umum pada Maret 2021 sebesar 0,08% secara bulanan (month-to-month/MtM) dan 1,37% secara tahunan (year-on-year/YoY). Sementara inflasi inti tercatat -0,03% MtM dan 1,21% YoY.

Realisasi ini melambat dibandingkan Februari 2021. Kala itu, inflasi umum adalah 0,1% MtM dan 1,38% YoY. Sedangkan inflasi inti 0,11% MtM dan 1,53% YoY.

Sejak Januari, laju inflasi terlihat semakin melambat. Bahkan inflasi inti secara YoY berada di posisi terendah sejak BPS mulai melaporkannya pada 2004.

Sayangnya, saat inflasi menurun nilai tukar rupiah sedang mengalami tekanan. Seandainya BI menurunkan suku bunga, nilai tukar rupiah tentu berisiko semakin terpuruk.

Nilai tukar rupiah belakangan ini memang mengalami tekanan cukup besar. Sebabnya kenaikan yield obligasi (Treasury) di AS akibat ekspektasi pemulihan ekonomi serta kenaikan inflasi. Kenaikan yield Treasury tersebut membuat selisih dengan yield Surat Berharga Negara (SBN) menyempit, sehingga memicu capital outflow yang pada akhirnya membuat rupiah tertekan.

Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, sepanjang bulan Maret lalu, terjadi capital outflow sebesar Rp 20 triliun di pasar obligasi. Pada periode yang sama, nilai tukar rupiah melemah lebih dari 2%.

Rupiah kini berada di level terlemah dalam 5 bulan terakhir, dan tekanan masih cukup besar. Sebab dolar AS diprediksi masih akan perkasa melawan mata uang emerging market, setidaknya dalam 1 bulan ke depan.

Reuters mengadakan polling terhadap ahli strategi valuta asing (valas), dari 56 yang disurvei sebanyak 48 orang atau 85% memperkirakan dolar AS masih akan kuat setidaknya 1 bulan lagi.

Dari 48 orang tersebut, sebanyak 11 orang memprediksi penguatan dolar AS akan berlangsung dalam 3 hingga 6 bulan ke depan, sementara 16 orang mengatakan akan berlangsung lebih dari 6 bulan lagi.

Rupiah memang layak waspada, sebab survei tersebut juga menunjukkan sebanyak 58% ahli strategi valas memprediksi mata uang emerging market akan tertekan melawan dolar AS dalam tiga bulan ke depan.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Secara Teknikal Rupiah Juga Masih Tertekan

Secara teknikal, tekanan bagi rupiah yang disimbolkan USD/IDR masih berada di atas Rp 14.500/US$, sehingga tekanan cukup besar.

Rupiah berada di atas rerata pergerakan (moving average) MA 200 hari, sebelumnya juga sudah melewati MA 50 (garis hijau), dan MA 100 (garis oranye). Artinya rupiah kini bergerak di atas 3 MA sehingga tekanan menjadi semakin besar.

idrGrafik: Rupiah (USD/IDR) Harian
Foto: Refinitiv

Selama berada di atas ketiga MA tersebut, rupiah masih akan cenderung tertekan, dan akan semakin besar jika MA 50 sudah menyilang dengan MA 200.

MA 200 di kisaran Rp 14.390 sampai 14.350/US$ menjadi kunci bagi rupiah. Jika berhasil menembus ke bawahnya, maka tekanan bagi rupiah akan berkurang, bahkan berpotensi untuk menguat.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> BI Belum Akan Turunkan Suku Bunga Dalam Waktu Dekat

Dolar AS yang masih perkasa baik secara fundamental maupun teknikal tentunya membuat rupiah sulit untuk menguat, dan BI kemungkinan tidak akan menurunkan suku bunga dalam waktu dekat.

Ekonom Bank Permata Josua Pardede menilai suku bunga 3,5% masih konsisten untuk menjangkar nilai tukar rupiah serta ekspektasi inflasi di Indonesia.

"Suku bunga acuan BI di level 3,5% masih konsisten dengan untuk menjangkar ekspektasi inflasi dan menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, mempertimbangkan volatilitas rupiah yang terindikasi dari rata-rata one-month implied volatility yang meningkat sepanjang bulan Maret dibandingkan bulan Februari," ujarnya kepada CNBC Indonesia, Jumat (19/3/2021).

Ekonom Bank Danamon Wisnu Wardhana mengatakan BI melihat perbedaan suku bunga sangat penting untuk meredam tekanan.

"Kami yakini, BI masih akan mempertahankan suku bunga kebijakannya di 3,5 di bulan berikutnya," kata Wisnu.

Hal Senada juga diungkapkan ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro pasca pengumuman kebijakan moneter bulan lalu, ia melihat keputusan BI sesuai yang diharapkan untuk bisa menjaga stabilitas Rupiah dan mendukung pemulihan ekonomi.

"Ini sejalan dengan perkiraan kami. Keputusan tersebut didasarkan pada kebutuhan untuk menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah terhadap meningkatnya ketidakpastian di pasar keuangan global, di tengah inflasi domestik yang diperkirakan masih terkendali," jelasnya.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Sepanjang Q1-2021, Rupiah Diproyeksi Stabil di Rp 13.900/USD

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular