
Cek! Beberapa Mata Uang Ini 'Keok' Dibantai Habis oleh Rupiah

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah anjlok melawan dolar Amerika Serikat (AS) sepanjang kuartal I-2021. Terhadap mitra dagang Asia dan Eropa, rupiah cenderung masih bertahan dengan tak sepenuhnya mengalami gerusan nilai tukar.
Terhadap dolar AS, rupiah di akhir 2020 berada di level Rp 14.040/US$. Di akhir kuartal I-2021, atau pada Rabu (31/3/2021), rupiah berada di level Rp 14.520/US$ yang artinya mengalami pelemahan 3,42%.
Pelemahan terjadi menyusul kenaikan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun yang memicu ekspektasi bahwa surat berharga negara (SBN) asal Negeri Sam tersebut bakal terus menguat kuponnya pada penerbitan selanjutnya. Mereka pun melepas aset di negara berkembang dan pulang kampung.
Posisi yield obligasi acuan di AS tersebut pada hari ini, Jumat (2/4/2021) menguat menjadi 1.681% sementara yield obligasi bertenor panjang (30 tahun) naik menjadi 2,3416%. Yield bergerak berlawanan arah dari harga.
Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, sepanjang tahun ini hingga 29 Maret lalu, terjadi capital outflow sebesar Rp 26 triliun di pasar obligasi.
Sementara itu, data RTI menyebutkan investor asing selama sebulan terakhir membukukan transaksi jual bersih (net sell) sebesar Rp 4,15 triliun, menggerus kinerja pembelian bersih (net buy) sepanjang tahun berjalan sebesar Rp 4,2 triliun di pasar reguler.
Meski melemah terhadap mata uang utama dunia, bukan berarti rupiah juga keok terharap mitra dagang utama nasional. Dari total 10 negara tujuan ekspor non-migas Indonesia, lima negara di antaranya mencatatkan pelemahan kurs terhadap rupiah, dan lima lainnya menguat.
Hal ini menunjukkan bahwa secara fundamental kondisi perekonomian Indonesia tidak terlalu buruk jika dibandingkan secara relatif terhadap negara-negara tersebut, sehingga secara psikologis tidak mempengaruhi nilai tukar Mata Uang Garuda terhadap mata uang mereka.
Rupiah sepanjang kuartal tersebut secara fundamental memang belum mendapatkan angin segar karena prospek pertumbuhan ekonomi yang masih menjadi tanda tanya antara terkontraksi, alias minus tanpa pertumbuhan, ataukah sudah ekspansif alias bertumbuh.
Proyeksi konservatif dipatok oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang memperkirakan ekonomi nasional pada 3 bulan pertama tahun ini masih akan menyusut antara -0,1% hingga -1%.
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mematok proyeksi yang lebih optimistis dengan perkiraan pertumbuhan ekonomi pada periode tersebut bakal berkisar 1,6% hingga 2,1%.