
Seandainya Hari Ini Dibuka, IHSG Mungkin Ditutup Menguat Lagi

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar saham dalam negeri pada pekan ini berakhir pada Kamis (1/4/2021) kemarin atau ditutup lebih awal karena libur memperingati Jumat Agung sebelum Hari Raya Paskah.
Namun, seandainya pasar saham RI masih dibuka Jumat (2/4/2021) hari ini, kemungkinan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) akan kembali ditutup di zona hijau, walaupun bursa saham Asia juga cenderung sepi karena mayoritas juga sedang libur.
Adapun bursa saham utama Asia yang masih dibuka pada hari ini adalah indeks Nikkei Jepang, indeks Shanghai Composite China, dan indeks KOSPI Korea Selatan.
Ketiga bursa saham Asia tersebut tercatat ditutup menguat pada hari ini, di mana Nikkei meroket 1,58%, Shanghai menguat 0,52%, dan KOSPI melesat 0,82%.
Walaupun pasar saham Asia cenderung sepi, namun sentimen dari penguatan bursa saham Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Kamis waktu setempat dapat mendorong IHSG berakhir menghijau.
Pada perdagangan Kamis kemarin, IHSG berakhir menguat 0,43% ke level 6.011,45 dan kembali ke atas level psikologis 6.000. Namun dalam sepekan terakhir, IHSG tercatat ambruk hingga 2,97%, lebih buruk dibandingkan dengan pekan sebelumnya yang ambles 2,53%.
Data perdagangan kemarin mencatat, sebanyak 307 saham menguat, 184 tertekan dan 147 lainnya flat. Nilai transaksi bursa menyusut menjadi Rp 9,5 triliun. Investor asing masih mencetak penjualan bersih (net sell) di pasar reguler, senilai Rp 989 miliar.
Sementara itu, bursa saham Amerika Serikat (AS) Wall Street ditutup cerah bergairah pada perdagangan Kamis (1/4/2021) waktu setempat, menjelang libur memperingati Jumat Agung sebelum Hari Raya Paskah.
Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup menguat 0,52% ke level 33.153,21, S&P 500 melesat 1,18% ke 4.019,87, dan Nasdaq Composite meroket hingga 1,76% ke 13.480,11.
Wall Street berakhir cerah karena didukung oleh melesatnya saham-saham teknologi dan beberapa data ekonomi yang tumbuh positif.
Saham Microsoft, Amazon, Alphabet, dan Nvidia melonjak 2% atau lebih, bersama dengan kenaikan saham-saham teknologi yang menunjukkan tanda-tanda kebangkitan sektor ini setelah tertinggal dalam beberapa pekan terakhir.
Saham teknologi lainnya, seperti Saham induk Google, Alphabet juga mencatatkan reli 3,3%, menyentuh rekor penutupan tertinggi yang pernah ada.
Saham Alphabet Inc dengan kode GOOGL di Bursa Nasdaq ditutup melesat 3,26% di posisi US$ 2.129/saham. Adapun saham Microsoft dengan kode MSFT di Nasdaq juga ditutup meroket 2,79% di US$ 242,35/saham.
Selain melesatnya saham teknologi AS, data aktivitas manufaktur AS yang tercermin di indeks manajer pembelian (Purchasing Manager' Index/PMI) manufaktur Markit yang melonjak pada Maret 2021 juga menjadi pendorong bursa Wall Street terbang.
IHS Markit dan Reuters menunjukkan ukuran aktivitas manufaktur melonjak ke level terkuat dalam lebih dari 37 tahun pada Maret, dengan lapangan kerja di pabrik tertinggi sejak Februari 2018.
Kembali ke IHSG, beberapa hari sebelumnya, yakni hari Senin dan Selasa pekan ini, IHSG kembali terpuruk dan ambles hingga 2% lebih. Amblesnya IHSG pada dua hari perdagangan pekan ini disebabkan sentimen negatif dari rencana kebijakan manajemen BPJS Ketenagakerjaan yang akan mengurangi porsi investasi di saham dan reksa dana.
Diketahui BPJSTK merupakan salah satu investor institusi raksasa. Sehingga apabila porsi investasi dikerdilkan berpotensi adanya arus uang keluar dari pasar modal dalam jumlah yang lumayan.
Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan Anggoro Eko Cahyo mengungkapkan rencana pengurangan investasi tersebut dalam rapat dengar pendapat bersama Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan dan Komisi IX DPR, pekan ini.
Langkah tersebut dilakukan dalam rangka Asset Matching Liabilities (ALMA) Jaminan Hari Tua (JHT). Ada tiga strategi yang disampaikan BP Jamsostek.
Sementara itu sentimen negatif yang berasal dari luar negeri adalah badai margin call yang menimpa saham perbankan AS juga memicu kekhawatiran seputar efeknya terhadap pasar keuangan global. Beberapa saham perbankan mengakui terkena forced sell (jual paksa) atas posisinya di short selling (jual kosong).
Selain itu, pelaku pasar dalam negeri juga menyikapi pergerakan imbal hasil (yield) surat utang AS tenor panjang yang terus menerus naik. Yield obligasi AS tenor 10 tahun sempat menyentuh 1,75% dan mengungguli yield dari dividen S&P 500 yang hanya 1,5%.
Surat utang merupakan instrumen investasi yang relatif lebih aman ketimbang saham. Namun ketika obligasi memberikan imbal hasil yang lebih menarik maka opportunity cost memegang saham menjadi naik dan kurang menarik.
Di sisi lain kenaikan yield seolah mengisyaratkan kenaikan biaya meminjam (borrowing cost). Pasar mengantisipasi kalau-kalau The Fed akan mengetatkan likuiditas lewat tapering.
Kenaikan yield obligasi pemerintah AS juga memicu kenaikan yield Surat Berharga Negara (SBN) tenor 10 tahun. Naiknya yield berarti harga SBN sedang melemah. Yield SBN dan harga saham juga berkorelasi negatif, sehingga kenaikan imbal hasil SBN juga berdampak pada koreksi harga saham di dalam negeri.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(chd/chd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article IHSG Balas Dendam, tapi Apa Kuat ke 7.000 Lagi?