
Di Depan Wamenkeu, Bos Maspion Curhat soal Pajak & Dry Port

Jakarta, CNBC Indonesia - Bos Maspion Group Alim Markus menyampaikan keresahan yang dirasakannya dalam menjalankan usaha di tengah pandemi Covid-19 ini.
Keluhan pria kelahiran 24 September 1951 ini disampaikan di depan Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Suahasil Nazara, mulai dari pajak yang diberikan oleh pemerintah hingga penggunaan dry port (pelabuhan darat) yang sebetulnya bisa menghemat biaya perusahaan.
Hal ini disampaikan Alim Markus dalam Temu Stakeholders Untuk Percepatan Pemulihan Ekonomi Nasional di Surabaya, Kamis (1/4/2021).
"Terus di sini saya ingin tanyakan itu Direktorat Bea Cukai [Kementerian Keuangan], PT Maspion ini sudah ada gudang dry port tapi kenapa tidak dibolehkan truck lossing [langsung masuk] ke gudang dry port. Itu sangat efisien [padahal] sangat bisa cost down. Jadi ini kenapa kita masih high cost [biaya tinggi]," kata Alim.
Selain itu, bos PT Bank Maspion Tbk (BMAS) ini juga menyinggung soal besaran relaksasi tarif pajak yang diberikan oleh Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, dari sebelumnya batasnya Rp 2,8 miliar menjadi hanya Rp 600 juta.
"Itu kan suatu yang kontradiktif, katanya mau bantu UMKM. Saya sampai ditanya, ini kan kentara ini kita terjebak sama pemerintah dinaikkan Rp 4,8 miliar lantas suruh semua, karena di bawah Rp 4,8 miliar [omzet] kan tidak usah bayar pajak supaya mereka itu katakan sesungguhnya. Makanya ini pas ada Wamen [Wakil Menteri Keuangan] kita tanyakan," jelas dia.
Sebelumnya, pemerintah memang akan menurunkan ambang batas (threshold) omzet pengusaha kena pajak (PKP).
Sejak 2014 hingga kini, batasan omzet PKP ditetapkan sebesar Rp 4,8 miliar per tahun. Sebelumnya, batasan omzet PKP adalah Rp 600 juta per tahun.
Namun demikian, Alim mendukung pengusaha untuk tetap membayarkan pajak kepada pemerintah guna menopang pertumbuhan ekonomi nasional.
"Saya juga bicarakan sama pengusaha pemerintah sudah luar biasa. Jadi di sini pajak itu harus kita sebagai pengusaha harus berani menyerahkan apa yang perlu diserahkan jadi tanggung jawab karena kita sangat terima kasih," kata dia.
"Tadi dikatakan vaksinasi, saya di sini terima kasih kepada pemerintah saya sudah divaksinasi dua kali, sudah selesai," tandasnya.
Situs resminya mencatat, Maspion Group memang punya perusahaan terminal khusus dry port. Terminal ini dikelola oleh PT Siam Maspion Terminal (SMT) yang merupakan perusahaan patungan antara PT Maspion Investindo dan SCG Chemicals (Singapura) Pte. Ltd.
Lokasinya di Jl. Kembang Jepun 38-40 Surabaya, Jawa Timur. Kantor operasi berlokasi di Kawasan Industri Maspion, Manyar-Gresik, Jawa Timur dan mulai beroperasi sejak 1998, SMT merupakan operator jetty untuk bongkar muat kargo cair dan gas untuk melayani kegiatan perusahaan manufaktur di dalam Kawasan Industri Maspion dan sekitarnya.
Adapun di perbankan, mereka punya Bank Maspion yang dalam proses penjualan saham kepada bank asal Thailand.
Tahun lalu, Bank Maspion dikabarkan akan dijual mayoritas sahamnya ke bank asal Thailand, Kasikornbank Public Company Limited.
Waktu itu, Alim mengatakan bank terbesar di Thailand ini akan menambah kepemilikannya di Bank Maspion menjadi 40%.
Sebagai informasi, pada April tahun 2020, BMAS mengumumkan bahwa perusahaan telah menandatangani perjanjian jual beli bersyarat (conditional sales and purchase agreement/CSPA) atas saham perusahaan. CSPA ini ditandatangani dengan perusahaan asal Thailand, Kasikornbank.
Presiden Direktur Maspion Group Alim Markus mengatakan jual beli saham ini dilakukan untuk pengembangan perusahaan, baik untuk memperkuat permodalan dan pengembangan lainnya.
"Tentunya [jual beli saham ini] baik berguna bagi Bank Maspion dalam permodalan dan IT (Informasi & Teknologi)," kata Alim kepada CNBC Indonesia.
"Doakan makin sehat besar dan sangat bermanfaat bagi negara dan bangsa Indonesia," tambah Alim.
Pembelian saham ini dilakukan Kasikornbank melalui anak usahanya Kasikorn Vision Co. Ltd (KVision). CSPA telah ditandatangani pada 13 April 2020 lalu.
(tas/tas)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Saham BMAS Meroket 418%, Harta Alim Markus Naik Rp 5 T
