
Keok Lagi, Rupiah Kini Menuju Pelemahan 3 Hari Beruntun

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS) hingga pertengahan perdagangan Rabu (31/3/2021), melanjutkan kinerja negatif sejak awal pekan ini. Mata Uang Garuda kini menuju pelemahan dalam 3 hari beruntun, sebelumnya bahkan sudah membukukan pelemahan 6 pekan beruntun.
Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan di Rp 14.470/US$. Setelahnya rupiah langsung merosot 0,66% ke Rp 14.565/US$. Rupiah mampu memangkas pelemahan dan berada di level Rp 14.540/US$, melemah 0,48%.
Rupiah terlihat sulit untuk bangkit di sisa perdagangan hari ini, terlihat dari pergerakannya di pasar non-deliverable forward (NDF) yang sedikit lebih lemah ketimbang beberapa saat sebelum pembukaan perdagangan pagi tadi.
Periode | Kurs Pukul 8:54 WIB | Kurs Pukul 11:54 WIB |
1 Pekan | Rp14.482,00 | Rp14.585,2 |
1 Bulan | Rp14.588,10 | Rp14.642,9 |
2 Bulan | Rp14.668,00 | Rp14.700,6 |
3 Bulan | Rp14.722,60 | Rp14.760,2 |
6 Bulan | Rp14.896,50 | Rp14.928,9 |
9 Bulan | Rp15.055,00 | Rp15.088,2 |
1 Tahun | Rp15.245,00 | Rp15.262,2 |
2 Tahun | Rp15.878,00 | Rp15.935,0 |
NDF adalah instrumen yang memperdagangkan mata uang dalam jangka waktu tertentu dengan patokan kurs tertentu pula. Pasar NDF belum ada di Indonesia, hanya tersedia di pusat-pusat keuangan internasional seperti Singapura, Hong Kong, New York, atau London.
Pasar NDF seringkali mempengaruhi psikologis pembentukan harga di pasar spot. Oleh karena itu, kurs di NDF tidak jarang diikuti oleh pasar spot.
Tekanan bagi rupiah datang dari naiknya yield obligasi (Treasury) AS. Sejak awal pekan lalu hingga siang ini, yield Treasury tenor 10 tahun naik 7,67 basis poin.
Ekspektasi pemulihan ekonomi AS yang lebih cepat dari perkiraan, serta kenaikan inflasi membuat pelaku pasar melepas Treasury yang membuat yield-nya naik.
Alhasil, selisih yield Treasury dengan Surat Berharga Negara (SBN) menjadi menyempit. Dengan status Indonesia yang merupakan negara emerging market, menyempitnya selisih yield membuat SBN menjadi kurang menarik, sehingga memicu capital outflow yang pada akhirnya menekan rupiah.
Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, sepanjang tahun ini hingga 29 Maret lalu, terjadi capital outflow sebesar Rp 26 triliun di pasar obligasi. Pada periode yang sama, nilai tukar rupiah melemah lebih dari 3%.
Menurut ekonom senior Chatib Basri, kondisi sekarang dinamakan tantrum without tapering alias pembalikan atau gejolak sudah terjadi padahal The Fed tidak menaikkan suku bunga acuan. Hal ini bisa terhenti atau tidak sangat bergantung pada kekuatan The Fed menjaga pergerakan pasar.
The Fed, kata Chatib mungkin akan mengambil langkah dengan intervensi pada yield Treasury. Caranya Bank Sentral membeli surat utang jangka panjang dari pasar. Tujuannya agar yield tidak terlalu tinggi.
"Kalau dilakukan maka ekspektasi inflasi bisa dikendalikan, itu berarti The Fed harus beli bond jangka panjang, harus stabilisasi," ujarnya kepada CNBC Indonesia, Rabu (24/3/2021).
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Sedang Tak Berharga, Dolar Makin Banyak 'Dibuang'
