IBC Tonggak Baru Industri RI, Begini Sejarah Baterai Listrik

Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia akan memasuki babak baru industri baterai listrik. Sore ini Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) segera mengumumkan pendirian Indonesia Battery Holding (IBH) yang bernama lengkap Indonesia Battery Corporation (IBC) yang dibentuk untuk mengelola industri baterai terintegrasi dari hulu sampai ke hilir di Tanah Air.
Dalam undangan yang didapat media nasional termasuk CNBC Indonesia, kementerian yang dipimpin Erick Thohir ini akan menggelar konferensi pers Pendirian Indonesia Battery Corporation (IBC) pada Jumat (26/3/2021) pukul 15.30 sore nanti.
Narasumber yang hadir di antaranya Menteri BUMN Erick Thohir, Wakil Menteri BUMN (Pahala Mansury dan Kartiko Wirjoatmodjo), Dirut IBC, dan lainnya.
Sebenarnya seperti apa sejarah baterai listrik?
Salah satu penemuan paling luar bisa dan berpengaruh besar dalam mengubah pola hidup manusia selama 400 tahun terakhir adalah ditemukannnya listrik. Kata 'electricity' dalam Bahasa Inggris pertama kali digunakan pada tahun 1646 oleh Sir Thomas Browne, turunan dari kata latin 'electricus' yang dituliskan William Gilbert di dalam bukunya De Magnete.
Akan tetapi penggunaan praktikal baru mulai diterapkan pada pertengahan hingga akhir abad ke-19, itu pun masih dalam kondisi sangat terbatas.
Barang yang tampaknya adalah baterai pra-sejarah ditemukan di Baghdad pada tahun 1936, yang dikenal sebagai baterai Parthian, dan diyakini berusia 2000 tahun.
Terbuat dari guci tanah liat yang diisi larutan cuka dan batang besi berselimut silinder tembaga yang dimasukkan ke dalamnya, benda ini mampu menghasilkan listrik 1.1 hingga 2.0 volt.
Akan tetapi tidak semua ilmuwan percaya bahwa benda tersebut merupakan alat untuk menyimpan energi, sangat mungkin alat tersebut digunakan untuk pelapisan logam mengingat teknologi ini sudah ditemukan bangsa mesir kuno 4300 tahun lalu.
Pada tahun 1800, fisikawan asal Italia menemukan sel Volta, baterai pertama diperkenalkan ke dunia.
Pada tahun 1836, kimiawan Inggris berhasil mengembangkan dan memperbaharui baterai yang mampu memproduksi arus yang lebih stabil dari sebelumnya. Menggunakan teknologi ini, di tahun 1859, fisikawan Prancis berhasil menemukan baterai pertama yang bisa diisi ulang dari asam timbal. Kita lebih mengenal baterai ini sebagai aki mobil.
Baretai Nikel-Kadmium (NiCd) ditemukan tahun 1899, menggunakan nikel sebagai katoda dan kadmium sebagai anoda. Harga material yang lebih tinggi dari timbal membuat penggunaannya sangat terbatas.
Dua tahun setelahnya Thomas Alva Edison mencoba peruntungan dengan mengganti anoda kadmium dengan besi yang haranya lebih murah, baterai tersebut kemudian dikenal sebagai nikel-besi (NiFe).
Meski harganya menjadi lebih murah, ternyata mengganti kadmium dengan besi menyebabkan kerapatan energi baterai menjadi rendah, performa buruk pada suhu rendah dan tingginya self-dischard.
Self-dischard adalah kondisi dimana baterai menghabiskan daya meski tidak digunakan sama sekali. Alasan tersebut di atas membuat terbatasnya penggunaan baterai nikel-besi ini.
Selama bertahun-tahun, NiCd adalah satu-satunya baterai yang dapat diisi ulang untuk penggunaan secara portabel. Pada 1990-an, pemerhati lingkungan di Eropa mengemukakan keprihatian akan dampak lingkungan ketika baterai NiCd dibuang sembarangan.
Kadmium adalah logam berat yang berbahaya dan beracun. Alternatif dari baterai jenis adalah baterai nickel-matal-hydride (NiMH), baterai yang serupa tapi lebih ramah lingkungan.
Baterai litium mungkin adalah jenis yang paling umum dikenal, purwarupanya baru dikembangkan tahun 1985 dari hasil riset yang sebelumnya sudah ada. Baterai ini pertama kali dikomersilkan oleh Sony tahun 1991, selanjutnya banyak aktivitas riset terkait baterai ini dilaksanakan.
Selain memberi daya pada telepon seluler, laptop, kamera digital dan peralatan medis. Baterai litium ion juga digunakan untuk kendaraan listrik dan satelit. Baterai ini memiliki berbagi keunggulan, diantaranya memiliki energi spesifik yang tinggi, mudah diisi daya, perawatan rendah dan juga lebih ramah lingkungan.
Pada tahun 2019, John B. Goodenough, M. Stanley Whittingham and Akira Yoshino dianugerahi Penghargaan Nobel di bidang Kimia atas kontribusi mereka dalam mengambangkan baterai litium-ion.
