Heboh Obligasi AS, Begini Respons Sri Mulyani-Morgan Stanley

Lidya Julita Sembiring, CNBC Indonesia
24 March 2021 07:20
Menteri Keuangan Sri Mulyani di acara Rapat Koordinasi Nasional Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Bidang Properti 2019. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Menteri Keuangan Sri Mulyani di acara Rapat Koordinasi Nasional Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Bidang Properti 2019. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Kenaikan yield atau imbal hasil obligasi AS atau US Treasury khususnya tenor 10 tahun menjadi perhatian pelaku pasar. Bahkan sentimen ini masih membuat pasar saham dalam negeri tak mampu berbuat banyak seiring dengan keluarnya investor asing dalam sebulan terakhir perdagangan.

Data BEI mencatat, asing sudah keluar Rp 581 miliar dari pasar saham dalam negeri dalam sebulan terakhir hingga perdagangan Selasa (23/3/2021). Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) juga ditutup ambles 0,77% di level 6.252 pada perdagangan Selasa dan sebulan terakhir minus 0,04%.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pun mencermati pergerakan yield US Treasury yang meningkat ini dalam beberapa waktu terakhir sehingga dinilai mempengaruhi pasar keuangan dalam negeri, meskipun dampaknya tidak terlalu besar.

Dari pasar obligasi, dampak pun terasa kendati tak signifikan. Menurut Sri Mulyani, yield Surat Berharga Negara (SBN) juga ada peningkatan sebesar 11%. Akan tetap bila dibandingkan dengan negara berkembang lainnya, peningkatan imbal hasil SBN Indonesia yang terjadi cukup rendah.

"Kenaikan yang terjadi di yield SBN kita masih rendah dibandingkan banyak negara berkembang," ungkap Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN Kita, Selasa (23/3/2021).

Yield obligasi AS disebut mengalami kenaikan sampai dengan 85% menjadi 1,7%. Sementara itu obligasi dengan jenis yang sama di Brasil mengalami kenaikan yield 29%, Filipina naik 48%, dan Rusia naik 29%.

Meski demikian, Sri Mulyani tetap akan terus waspada melihat pergerakan ke depan di pasar keuangan. Bank Sentral AS the Fed pekan lalu baru memberikan kepastian kalau tidak akan menaikkan suku bunga acuan walaupun inflasi AS menyentuh 2%.

"Ini sesuatu yang perlu kita jaga," tegasnya.

Kondisi pasar keuangan saat ini membuat aliran dana keluar dari Indonesia. Nilai tukar rupiah turut melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Sri Mulyani tidak bisa memastikan sampai kapan kondisi ini akan mereda.

"Maka ini perlu diwaspadai terutama tren dunia terkait policy adjustment yang diambil dan dampaknya terhadap perekonomian Indonesia," ujarnya.

NEXT: Analisis Panin dan Morgan Stanley

Kembali ke pasar saham, riset Panin Sekuritas menyebutkan indeks acuan BEI masih 'galau' lantaran disebabkan oleh pelaku pasar yang bersikap konservatif terkait dengan potensi pergerakan yield obligasi AS yang diperkirakan masih akan meningkat di beberapa bulan ke depan. Kenaikan yield obligasi AS ini seiring dengan pernyataan Presiden AS Joe Biden untuk mempersiapkan stimulus sebesar US$ 3 triliun.

Dalam risetnya Panin Sekuritas menyebut, kejadian yang sama terjadi di bursa regional yang cenderung bergerak mixed.

"Penurunan yield obligasi AS masih dicermati pelaku pasar dan menunggu perkembangan dari pertemuan antara Jerome Powell dan juga Janet Yellen membahas terkait kebijakan ekonomi terkait krisis pandemi Covid-19," tulis riset Panin Sekuritas.

Kenaikan yield obligasi AS mencerminkan harga obligasinya turun karena harga dan yield bergerak berlawanan.

Ketika yield naik maka harga obligasi turun, sebaliknya ketika yield turun, maka harga obligasi naik. Kenaikan yield mencerminkan risiko meningkat, permintaan akan dolar AS sebagai safe haven juga akan mengalami kenaikan dan rupiah pun berpotensi tertekan.

Di sisi lain, Bank investasi asal AS, Morgan Stanley mengatakan kenaikan imbal hasil US Treasury tenor 10 tahun adalah wajar dan menjadi cerminan kepercayaan yang tumbuh dari para investor terhadap prospek ekonomi AS.

Analisis itu disampaikan Jim Caron, Manajer Portofolio Pendapatan Tetap Global Morgan Stanley, dilansir CNBC International.

Data mencatat, imbal hasil Treasury 10 tahun melonjak di atas 1,7% pada Kamis (18/3), level tertinggi dalam lebih dari setahun. Kenaikan yield itu terjadi meskipun bank sentral AS, Federal Reserve (The Fed), meyakinkan investor bahwa tidak ada rencana untuk menaikkan suku bunga dalam waktu dekat, atau melonggarkan program pembelian obligasi.

Pada Kamis itu, imbal hasil pada obligasi US Treasury tenor 30-tahun juga naik 3 basis poin menjadi 2,472%.

Menurut Caron, kenaikan imbal hasil obligasi baru-baru ini tidak menunjukkan pengetatan kondisi keuangan di AS.

"Menurut saya, karena level yield obligasi AS sekitar 1,75%, 1,7% untuk tenor 10 tahun, saya pikir ini [yield ini] adalah level yang wajar di mana kami dapat mengharapkan beberapa konsolidasi [ekonomi]," katanya, Jumat (19/3/2021).

Namun dia memprediksi imbal hasil Treasury kemungkinan besar akan tetap dalam kisaran saat ini, tidak melanjutkan kenaikan jauh lebih tinggi atau berbalik turun banyak.

"Karena ini adalah level yang diharapkan pasar akan kami capai, pada pengumuman Fed yang lebih dovish [kalem] dari yang diharapkan. Dan itulah yang kami dapatkan," katanya kepada CNBC dalam program "Squawk Box Asia".

Setelah pertemuan kebijakan moneter bank sentral AS selama 2 hari ditutup pada Rabu waktu AS, the Fed mengatakan pihaknya melihat pertumbuhan ekonomi yang lebih kuat dari perkiraan sebelumnya. Bank sentral AS memperkirakan produk domestik bruto (PDB) AS akan naik menjadi 6,5% pada tahun 2021. Ini lebih tinggi dari proyeksi kenaikan PDB 4,2% yang diperkirakan di Desember.

The Fed juga memperkirakan inflasi inti akan mencapai 2,2% tahun ini, tetapi memiliki ekspektasi jangka panjang tetap di sekitar 2%.

Michael Spencer, Kepala Ekonom dan Kepala Penelitian Asia-Pasifik di Deutsche Bank, menggemakan pandangan serupa.

Dia menyatakan "sangat wajar jika imbal hasil obligasi jangka panjang naik."

"Semua orang sangat optimis pada pertumbuhan AS. Kami berharap sepanjang tahun ini, ekonomi akan tumbuh 7,5%," katanya dalam program "Squawk Box Asia" di CNBC.

"Saya tidak berpikir apa yang kami lihat itu tidak teratur. Saya pikir kita harus berharap pada akhir tahun, imbal hasil obligasi 10 tahun akan menjadi dua dan seperempat (persen), atau lebih tinggi."

Lebih lanjut Caron mengatakan, kenaikan imbal hasil Treasury adalah cerminan dari momentum pertumbuhan yang kuat untuk ekonomi AS setelah (setara Rp 27.000 triliun, kurs Rp 14.000/US$) baru-baru ini ditandatangani oleh pemerintahan Joe Biden bulan lalu.

Stimulus ini kemungkinan akan meningkatkan kepercayaan karena AS mulai pulih dari pandemi virus corona.

"Keyakinan datang saat negara bagian dibuka kembali, orang-orang divaksinasi dan tingkat infeksi turun. Tentu saja, semua uang ekstra yang dikeluarkan dari program bantuan dan perlindungan penggajian ini akan sangat membantu. Itu akan sangat membantu kepercayaan dan konsumsi-konsumsi menjadi 70% dari PDB," kata Caron.

Caron juga tidak mengkhawatirkan bahwa paket bantuan fiskal dapat menyebabkan inflasi yang lebih tinggi.

"Saya tidak tahu seberapa inflasi sebenarnya ini. Sudah banyak pencetakan uang. Namun, yang harus kita lihat adalah velositasnya, yang artinya aktivitas ekonomi benar-benar mulai meningkat hingga benar-benar menciptakan inflasi. Dan kami belum melihatnya," katanya.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular