Jakarta, CNBC Indonesia - Minggu ini pasar keuangan domestik sedikit mengalami goyangan. Baik nilai tukar rupiah, surat berharga negara (SBN) hingga saham kompak mengalami koreksi.
Nilai tukar rupiah terdepresiasi 0,14% terhadap greenback ke Rp 14.400/US$. Imbal hasil nominal (yield) SBN tenor 10 tahun RI naik 0,098 poin persentase ke 6,82%. Sementara itu Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terkoreksi 0,03%.
Bank Indonesia (BI) selaku bank sentral memutuskan untuk menahan suku bunga acuan (BI-7 Day Reverse Repo Rate) di level 3,5%. Keputusan ini diambil oleh BI dalam rangka menjaga stabilitas rupiah dari meningkatnya risiko ketidakpastian global.
Risiko di pasar keuangan yang saat ini merebak adalah kenaikan imbal hasil nominal obligasi pemerintah AS tenor. Yield surat utang AS tersebut tembus 1,73% pekan ini dan menyentuh level tertinggi dalam satu tahun terakhir.
Kenaikan yield terjadi seiring dengan kenaikan ekspektasi inflasi. Bank sentral AS juga memperkirakan tekanan inflasi akan meningkat. Proyeksi The Fed menunjukkan bahwa Personal Consumption Expenditures Index (PCE) diperkirakan naik 2,4% pada 2021. Angka tersebut naik dari proyeksi Desember sebesar 1,8%.
Tekanan inflasi diperkirakan akan terus tumbuh pada tahun 2022 dengan PCE naik 2,0%, naik dari perkiraan Desember sebesar 1,9%. Pada 2023, Federal Reserve memperkirakan inflasi akan mencapai 2,1%.
Sementara itu untuk ekspektasi inflasi inti yang tidak menghitung komponen volatile food dan harga energi, diperkirakan akan naik 2,2% tahun ini. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan perkiraan sebelumnya sebesar 1,8%.
Tahun depan, inflasi inti diperkirakan naik 2,0%. Naik 0,1 poin persentase dibandingkan dengan perkiraan Desember sebesar 1,9%. Pada tahun 2023, inflasi diperkirakan akan meningkat menjadi 2,1%.
Outlook kenaikan inflasi tersebut membuat yield obligasi menguat yang berarti harganya terkoreksi. Jika yield obligasi pemerintah AS terus naik, maka hal yang serupa juga akan terjadi pada instrumen pendapatan tetap Tanah Air. Imbal hasil SBN akan ikut naik yang berarti harganya melemah.
Minggu depan, hantu US Treasury Yield masih berpotensi menghantui. Ketika yield terus menerus naik maka ini bukan kabar yang baik terutama untuk saham-saham teknologi AS.
Kenaikan yield membuat borrowing cost dari penerbitan obligasi menjadi meningkat. Ketika beban biaya dari utang meningkat maka pendanaan menjadi mahal dan biaya ekspansi maupun operasional yang bergantung dari pinjaman juga mahal.
Inilah faktor yang rawan sekali membuat harga saham di Wall Street bergerak dengan volatilitas tinggi dan tentunya akan ikut berdampak pada bursa saham lain tak terkecuali Indonesia.
Kenaikan yield juga membawa konsekuensi lain bagi pasar obligasi di Indonesia. Yield yang meningkat bisa memicu adanya capital outflow atau aliran dana keluar. Ketika investor memilih melepas kepemilikan SBN dan mengkonversinya ke dalam dolar AS maka tidak hanya harga SBN saja yang turun tetapi rupiah juga kena imbas.
Selain yield sentimen penggerak pasar pekan depan adalah soal vaksinasi Covid-19 yang terhambat dan kembali maraknya lockdown di kawasan Benua Biru. Sektor penerbangan di Eropa kembali terancam sekarat karena mobilitas publik masih akan tersendat musim panas ini.
Sudah banyak negara Eropa yang memilih menghentikan sementara program vaksinasi menggunakan produk yang dikembangkan oleh AstraZeneca. Paling baru ada Denmark.
Denmark mengatakan pada hari Sabtu bahwa satu orang telah meninggal dan satu lagi jatuh sakit dan dalam kondisi parah akibat pembekuan darah dan pendarahan otak setelah menerima vaksinasi Covid-19 AstraZeneca.
Keduanya merupakan anggota staf rumah sakit dan telah menerima vaksin AstraZeneca kurang dari 14 hari sebelum jatuh sakit, menurut otoritas rumah sakit umum di Kopenhagen.
Badan Obat Denmark mengkonfirmasi telah menerima dua laporan serius, tanpa memberikan rincian lebih lanjut sebagaimana diwartakan Reuters. Tidak ada rincian kapan staf rumah sakit tersebut menderita sakit.
Denmark berhenti menggunakan vaksin AstraZeneca pada 11 Maret, termasuk satu di antara lebih dari selusin negara yang untuk sementara menghentikan penggunaan vaksin setelah sejumlah kecil laporan kasus pembekuan darah otak yang langka membuat para ilmuwan dan pemerintah untuk melakukan investigasi.
Beberapa negara termasuk Jerman dan Prancis minggu ini membalikkan keputusan mereka untuk menangguhkan penggunaan vaksin menyusul penyelidikan terhadap laporan pembekuan darah oleh pengawas obat Uni Eropa.
Denmark bersama dengan Swedia dan Norwegia mengatakan pada hari Jumat bahwa mereka membutuhkan lebih banyak waktu untuk memutuskan apakah akan menggunakan kembali vaksin tersebut.
Selain otoritas pengawas obat Uni Eropa WHO juga meminta negara-negara yang sudah terlanjur menggunakan vaksin AstraZeneca untuk terus menyuntikkannya ke masyarakat karena pihaknya masih yakin bahwa manfaat vaksin lebih besar daripada risikonya.
Investor juga mengalihkan perhatian mereka pada prospek kenaikan pajak yang dapat mengancam reli saham AS karena pemerintahan Presiden Joe Biden bergerak maju dengan agendanya dan mencari cara untuk mengeksekusinya.
Dalam beberapa hari terakhir, investor fokus pada kenaikan imbal hasil obligasi yang telah menekan harga saham, meskipun indeks tetap mendekati rekor tertingginya.
Namun demikian, beberapa pihak juga khawatir bahwa setidaknya kenaikan pajak akan membuat harga saham ambrol di tengah valuasi yang sudah terbilang tinggi (premium).
"Ini adalah masalah," kata Quincy Krosby, kepala strategi pasar di Prudential Financial. "Ini akan dibicarakan saat menjadi kenyataan. Tetapi fokus pasar saat ini jelas untuk mencapai sisi lain dari pandemi ini."
Indeks S&P 500 telah naik lebih dari 4% tahun ini akibat rencana stimulus fiskal senilai US$ 1,9 triliun yang baru disahkan oleh Biden. Bantuan fiskal untuk Covid-19 tersebut seolah menyediakan bahan bakar terbaru untuk ekonomi dan pasar saham.
Selama kampanye kepresidenannya, Biden berjanji untuk menaikkan tarif pajak perusahaan menjadi 28% dari 21%. Proposal ini didukung oleh Menteri Keuangan AS Janet Yellen. Ahli strategi investasi mengantisipasi pertentangan sengit dari anggota parlemen Republik terhadap rencana semacam itu.
Kenaikan pajak perusahaan dapat memengaruhi laba perusahaan, yang diperkirakan akan melonjak tahun ini karena bisnis yang pulih dari pandemi.
"Tarif pajak perusahaan yang naik dari 21% menjadi 25% dapat memangkas keseluruhan pendapatan perusahaan S&P 500 antara 4% hingga 5%, sementara kenaikan menjadi 28% dapat memotongnya sebesar 6% hingga 7%," menurut Tobias Levkovich, kepala strategi ekuitas AS di Citi kepada Reuters.
"Secara teori, jika Anda membeli pasar untuk mengantisipasi pendapatan yang lebih baik sebagai akibat dari stimulus, Anda mungkin kehilangan keuntungan dari tarif pajak yang lebih tinggi," katanya.
"S&P 500 secara keseluruhan memiliki tarif pajak 17,54% pada kuartal ketiga, dengan real estat memiliki tarif terendah di antara sektor S&P lain sebesar 8,06%. Sektor teknologi yang merupakan sektor terbesar berdasarkan nilai pasar, memiliki tingkat 14,76%," menurut Howard Silverblatt, analis indeks senior di Indeks S&P Dow Jones.
Well, saat ini setidaknya ada tiga hantu utama yang bergentayangan di pasar yaitu yield obligasi AS, vaksinasi yang terhambat dan lockdown serta kekhawatiran bakal adanya kenaikan pajak.
TIM RISET CNBC INDONESIA