
Dear Mister Biden, Yield Surat Utangnya Tinggi Banget!

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah di kurs tengah Bank Indonesia (BI). Rupiah pun lesu di perdagangan pasar spot.
Pada Jumat (19/3/2021), kurs tengah BI atau kurs tengah Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor berada di Rp 14.476. Rupiah melemah 0,44% dibandingkan posisi hari sebelumnya.
Mata uang Tanah Air juga merah di 'arena' pasar spot. Pada pukul 10:00 WIB, US$ 1 dihargai Rp 14.450 di mana rupiah melemah 0,42%.
Senasib dengan rupiah, mata uang utama Asia lainnya pun tidak berdaya di hadapan dolar AS. Sejauh ini hanya rupee India yang bisa menguat.
Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Benua Kuning di perdagangan pasar spot pada pukul 10:03 WIB:
Tidak hanya di pasar valas, 'lautan merah' juga terhampar di bursa saham Asia. Bahkan beberapa indeks saham melemah hingga lebih dari 1%.
Berikut perkembangan indeks saham utama Asia pada pukul 09:57 WIB:
Tekanan di pasar keuangan Asia yang kemarin sempat reda muncul lagi. Investor kembali mengalihkan perhatian ke pasar obligasi pemerintah AS. Kemarin, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun sempat menyentuh 1,754%, tertinggi dalam 13 bulan terakhir.
"Dolar AS mendapatkan kembali mojo-nya. Ternyata pernyataan dari Jerome Powell (Ketua Bank Sentral AS/The Federal Reserve) belum bisa menahan kenaikan yield," sebut Rodrigo Catril, FX Strategist di National Australia Bank, dalam risetnya.
Usai rapat bulanan edisi Maret 2021, Powell menegaskan bahwa laju inflasi AS belum stabil. Ini karena ekonomi AS masih belum pulih betul dari dampak pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) sehingga permintaan relatif terbatas.
Sementara pasar masih yakin bahwa tekanan inflasi sudah di depan mata. Pasalnya, tanda-tanda kebangkitan ekonomi Negeri Paman Sam semakin terkonfirmasi setiap harinya.
The Federal Reserve/The Fed cabang Philadelphia merilis data indeks aktivitas manufaktur yang pada Maret 2021 berada di 58,1. Jauh lebih tinggi ketimbang bulan sebelumnya yang sebesar 23,1 sekaligus menjadi yang tertinggi selama hampir 50 tahun terakhir.
The Fed pun telah merevisi ke atas proyeksi pertumbuhan ekonomi AS dari 4,2% menjadi 6,5%. Jika terwujud, maka akan menjadi laju tercepat sejak 1984.
Didorong oleh keyakinan bahwa laju inflasi bakal terakselerasi tidak lama lagi, yield oblligasi pemerintah AS pun bergerak ke utara. Ini membuat surat utang pemerintahan Presiden Joseph 'Joe' Biden menjadi menarik, menjanjikan cuan gede.
Oleh karena itu, investor masih saja berfokus di pasar obligasi pemerintah AS. Akibatnya, aset-aset lain (apalagi instrumen berisiko di negara berkembang) sepi peminat dan terpapar tekanan jual. Aksi jual ini membuat mata uang negara berkembang melemah, termasuk rupiah.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Sedang Tak Berharga, Dolar Makin Banyak 'Dibuang'
