
Stimulus US$ 1,9 T, Dolar Australia atau Rupiah yang Untung?

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar dolar Australia bergerak fluktuatif melawan rupiah pada perdagangan Senin (8/3/2021). Sempat melemah di awal perdagangan, Mata Uang Negeri Kanguru ini perlahan kembali ke zona hijau.
Melansir data Refinitiv, dolar Australia pagi tadi melemah 0,17% ke Rp 10.964,72/AU$. Namun, dolar Australia perlahan bangkit dan berada di level Rp 11.033,56, menguat 0,46% di pasar spot.
Stimulus fiskal di Amerika Serikat (AS) menjadi penggerak utama 2 mata uang ini. Meski stimulus senilai US$ 1,9 triliun tersebut akan cair di Negeri Paman Sam di pekan ini, tetapi dampaknya bisa dirasakan secara global.
Senat AS pada akhir pekan lalu meloloskan stimulus fiskal jumbo senilai US$ 1,9 triliun yang diusulkan oleh Pemerintah di bawah komando Presiden Joseph 'Joe' Biden.
Hasil pemungutan suara atas paket stimulus itu menunjukkan hasil 50-49. Sebelumnya House of Representative (DPR) juga sudah menyetujui stimulus tersebut.
Setelah ini, Kongres yang dikuasai Partai Demokrat akan mengesahkan paket itu per Selasa (9/3/2021) waktu setempat. Kemudian akan dikirim ke Presiden Biden untuk ditandatangani sebelum batas waktu 14 Maret 2021 demi memperbarui program bantuan sebelumnya.
Stimulus tersebut membuat sentimen pelaku pasar membaik, yang tercermin dari penguatan bursa saham global. Saat sentimen pelaku pasar membaik, baik dolar Australia dan rupiah mendapat keuntungan.
Dolar Australia terkenal dengan risk-on currency, atau yang kinerjanya akan bagus saat sentimen pelaku pasar membaik. Sementara rupiah merupakan mata uang emerging market dengan imbal hasil (yield) yang tinggi, juga menjadi salah satu pilihan pelaku pasar saat sentimen sedang bagus.
Tetapi dalam kondisi saat ini, dolar Australia lebih diuntungkan. Sebab, stimulus fiskal di AS akan membuat pemulihan ekonomi semakin terakselerasi, yang juga akan mengerek pertumbuhan ekonomi global.
Saat pertumbuhan ekonomi global membaik, permintaan komoditas akan meningkat. Dolar Australia juga merupakan mata uang yang terkait erat dengan harga komoditas.
Hasil survei terbaru dari Reuters juga menunjukkan dalam 3 bulan ke depan, sebanyak 60% dari analis yang disurvei memprediksi mata uang komoditas akan menguat melawan dolar AS. 21% melihat mata uang negara maju yang akan menguat, dan sisanya memprediksi mata uang emerging market.
Mata uang komoditas merupakan mata uang yang pergerakannya mengikuti harga komoditas. Hal tersebut terjadi akibat negara pemilik mata uang tersebut sangat tergantung dari ekspor komoditas sebagai pendapatan negara.
Melansir Investopedia, ada 6 mata uang yang pergerakannya sensitif terhadap harga komoditas, yakni dolar Kanada, Dolar Australia, dolar Selandia Baru, Ruble Rusia, real Brasil, dan Arab Saudi.
Indonesia memiliki komoditas ekspor andalan semacam batu bara dan minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO), tetapi pergerakan rupiah tidak atau kurang sensitif terhadap pergerakan komoditas. Sehingga belum masuk kategori mata uang komoditas. Beberapa negara lainnya, seperti Venezuela juga belum termasuk mata uang komoditas.
Pun, dari 6 mata uang komoditas, hanya dolar Kanada, dolar Australia, dan dolar Selandia Baru yang pergerakannya paling sensitif, sementara tiga lainnya masih dikatakan kurang.
Alhasil, dengan kondisi saat ini dolar Australia yang lebih banyak diuntungkan, sehingga mampu menguat melawan rupiah.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Tahun Lalu Jeblok 4%, Dolar Australia Turun Lagi di Awal 2022
