
Yield Treasury Meroket, Sekuat Apa Rupiah Bisa Bertahan?

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah melemah tipis 0,07% melawan dolar Amerika Serikat (AS) ke Rp 14.090/US$ pada pembukaan perdagangan Jumat (262/2021). Seiring berjalannya waktu, pelemahan rupiah bertambah menjadi 0,14%.
Pelemahan yang tipis-tipis tersebut terbilang mengejutkan, sebab rupiah di pasar non deliverable forward (NDF) merosot tajam di awal perdagangan hari ini, dibandingkan dengan beberapa saat sebelum penutupan perdagangan kemarin.
Periode | Kurs Pukul 14:54 WIB | Kurs Pukul 8:54 WIB |
1 Pekan | Rp14.088,50 | Rp14.281,0 |
1 Bulan | Rp14.135,30 | Rp14.356,4 |
2 Bulan | Rp14.182,90 | Rp14.406,8 |
3 Bulan | Rp14.233,60 | Rp14.485,4 |
6 Bulan | Rp14.384,40 | Rp14.688,2 |
9 Bulan | Rp14.543,60 | Rp14.839,0 |
1 Tahun | Rp14.725,10 | Rp15.055,8 |
2 Tahun | Rp15.415,00 | Rp15.560,0 |
NDF adalah instrumen yang memperdagangkan mata uang dalam jangka waktu tertentu dengan patokan kurs tertentu pula. Pasar NDF belum ada di Indonesia, hanya tersedia di pusat-pusat keuangan internasional seperti Singapura, Hong Kong, New York, atau London.
Pasar NDF seringkali mempengaruhi psikologis pembentukan harga di pasar spot. Oleh karena itu, kurs di NDF tidak jarang diikuti oleh pasar spot.
Kenaikan tajam yield obligasi (Treasury) AS membuat rupiah tertekan, bahkan mungkin jeblok tajam jika melihat pergerakan di pasar NDF. Kamis kemarin, yield Treasury naik 12,6 basis poin ke 1,515%, bahkan sebelumnya sempat menyentuh 1,614%, tertinggi sejak Februari tahun lalu, atau sebelum virus corona dinyatakan sebagai pandemi, dan sebelum bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) membabat habis suku bunganya menjadi 0,25%.
Kenaikan yield Treasury tersebut tentunya membuat obligasi (Surat Berharga Negara/SBN) kurang menarik, sebab selisihnya semakin menyempit, apalagi setelah Bank Indonesia (BI) yang kembali memangkas suku bunga pekan lalu tentunya yield SBN bisa terus menurun. Sebagai aset negara emerging market, SBN perlu yield yang tinggi untuk menarik investor.
Ketika selisih yield semakin menyempit, maka risiko capital outflow semakin meningkat dari pasar obligasi dalam negeri, yang dapat menekan rupiah.
Selain yield Treasury, indeks dolar AS pagi ini juga langsung naik 0,14% ke 90,26, yang dapat menambah tekanan bagi rupiah. Sehingga, pelemahan tipis rupiah terbilang cukup mengejutkan.
Secara teknikal, tekanan bagi rupiah cukup besar setelah menembus ke atas (moving average/MA) 50 hari atau MA 50 (garis hijau), yang mengakhiri pola death cross yang terjadi di November 2020.
Death cross merupakan perpotongan MA 50 hari, MA 100 hari (MA 100), dan 200 hari (MA 200). Death cross terjadi dimana MA 50 memotong dari atas ke bawah MA 100 dan 200.
Death cross menjadi sinyal suatu aset akan berlanjut turun. Dalam hal ini USD/IDR, artinya rupiah berpotensi menguat lebih jauh. Selama tertahan di atas MA 50, maka pola death cross akan berakhir, sementara jika kembali ke bawahnya pola tersebut bisa berlanjut lagi.
![]() Foto: Refinitiv |
Sementara itu, indikator stochastic sudah masuk wilayah jenuh beli (overbought).
Stochastic merupakan leading indicator, atau indikator yang mengawali pergerakan harga. Ketika Stochastic mencapai wilayah overbought (di atas 80) atau oversold (di bawah 20), maka suatu harga suatu instrumen berpeluang berbalik arah.
Stochastic sudah memasuki wilayah overbought membuka ruang penguatan rupiah.
Support terdekat berada di kisaran Rp 14.080/US$. Sementara selama tertahan di atas support, rupiah berisiko melemah dengan resisten berada di kisaran Rp 14.130/US$. Jika level tersebut juga dilewati, rupiah akan melemah lebih jauh, menuju Rp 14.160/US$ (MA 100), hingga Rp 14.200/US$.
Sementara jika support ditembus, rupiah berpeluang menguat ke 14.030/US$ (MA 50).
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article The Fed Tetap Tegas, Rupiah Tetap Liar!
