Rupiah Masih Melemah, tapi Berpeluang Hat-trick nih!

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
25 February 2021 12:25
Dollar-Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS) hingga pertengahan perdagangan Kamis (25/2/2021). Meski demikian, peluang Mata Uang Garuda mencatat hat-trick alias penguatan 3 hari beruntun terbuka cukup lebar.

Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan stagnan di Rp 14.080/US$. Sempat menguat tipis 0,04%, rupiah langsung berbalik melemah hingga 0,18% ke Rp 14.105/US$. Posisi rupiah membaik, pada pukul 12:00 WIB berada di level Rp 14.085/US$, melemah 0,04% saja.

Rupiah berpeluang bangkit di sisa perdagangan hari ini, bahkan berbalik menguat. Hal tersebut terlihat dari pergerakannya di pasar non-deliverable forward (NDF) yang siang ini lebih kuat ketimbang beberapa saat sebelum pembukaan perdagangan pagi tadi.

PeriodeKurs Pukul 8:54 WIBKurs Pukul 11:54 WIB
1 PekanRp14.094,60Rp14.050,8
1 BulanRp14.123,80Rp14.097,5
2 BulanRp14.184,40Rp14.145,7
3 BulanRp14.234,00Rp14.196,9
6 BulanRp14.393,90Rp14.351,0
9 BulanRp14.560,90Rp14.515,5
1 TahunRp14.741,00Rp14.685,9
2 TahunRp15.426,00Rp15.410,0

NDF adalah instrumen yang memperdagangkan mata uang dalam jangka waktu tertentu dengan patokan kurs tertentu pula. Pasar NDF belum ada di Indonesia, hanya tersedia di pusat-pusat keuangan internasional seperti Singapura, Hong Kong, New York, atau London.

Pasar NDF seringkali mempengaruhi psikologis pembentukan harga di pasar spot. Oleh karena itu, kurs di NDF tidak jarang diikuti oleh pasar spot.

Kenaikan yield obligasi (Treasury) AS menjadi penekan utama rupiah. Pagi ini, yield Treasury tenor 10 tahun naik 19,1 basis poin ke 1,4081%. Level tersebut merupakan yang tertinggi sejak Februari 2020, atau sebelum virus corona dinyatakan sebagai pandemi.

Kenaikan yield Treasury tersebut tentunya membuat obligasi (Surat Berharga Negara/SBN) kurang menarik, sebab selisihnya semakin menyempit, apalagi setelah BI yang kembali memangkas suku bunga pekan lalu tentunya yield SBN akan terus menurun. Sebagai aset negara emerging market, SBN perlu yield yang tinggi untuk menarik investor.

Ketika selisih yield semakin menyempit, maka risiko capital outflow semakin meningkat dari pasar obligasi dalam negeri, yang dapat menekan rupiah.

Namun di sisi lain, dolar AS juga sedang tertekan, indeks yang mengukur kekuatan the greenback kembali turun tipis 0,07% 90,115. Bos bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed), Jerome Powell, sekali lagi menegaskan tidak akan menaikkan suku bunga sampai rata-rata inflasi sebesar 2%, yang diperkirakan baru kana dicapai dalam 3 tahun.

Selain itu stimulus fiskal senilai US$ 1,9 triliun diperkirakan akan cair dalam waktu dekat.

Stimulus tersebut akan menjadi yang terbesar kedua sepanjang sejarah AS, setelah US$ 2 triliun yang digelontorkan pada bulan Maret 2020 lalu.

House of Representative (DPR) AS akan melakukan voting terhadap proposal stimulus senilai US$ 1,9 triliun tersebut di pekan ini. Jika berhasil disetujui, maka proposal tersebut selanjutnya akan diserahkan ke Senat.

Stimulus tersebut diharapkan bisa cair sebelum pertengahan Maret, dimana stimulus fiskal yang ada saat ini akan berakhir.

Saat stimulus tersebut cair, maka jumlah uang yang beredar di perekonomian AS akan bertambah. Secara teori dolar AS akan melemah.

TIM RISET CNBC INDONESIA 


(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Sedang Tak Berharga, Dolar Makin Banyak 'Dibuang'

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular