Rupiah Menguat 2 Hari & Juara 2 Asia, Terima Kasih Mr. Powell

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
24 February 2021 15:22
Federal Reserve Chair Jerome Powell removes his glasses as he listens to a question during a news conference after the Federal Open Market Committee meeting, Wednesday, Dec. 11, 2019, in Washington. The Federal Reserve is leaving its benchmark interest rate alone and signaling that it expects to keep low rates unchanged through next year. (AP Photo/Jacquelyn Martin)
Foto: Gubernur bank sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve, Jerome Powell (AP Photo/Jacquelyn Martin)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah menguat melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Rabu (24/2/2021). Yield obligasi (Treasury) AS yang akhirnya menurun membuat rupiah mampu membukukan penguatan 2 hari beruntun.

Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan menguat 0,28% ke Rp 14.050/US$. Tetapi setelahnya penguatan tersebut terpangkas hingga tersisa 0,04% saja di Rp 14.085/US$.

Di penutupan perdagangan, rupiah berada di level Rp 14.080/US$, menguat 0,07% di pasar spot.

Meski penguatan tipis, rupiah menjadi juara dua di Asia. Hingga pukul 15:03 WIB, rupiah hanya kalah dari yuan China yang menguat 0,11%.

Berikut pergerakan dolar AS melawan mata uang utama Asia.


Penguatan rupiah hari ini terjadi setelah yield obligasi (Treasury) AS turun 2,9 basis poin ke 1,3348%. Yield Treasury AS sebelumnya mencapai level tertinggi sejak Februari 2020, atau sebelum virus corona dinyatakan sebagai pandemi.

Kenaikan yield tersebut membuat selisihnya dengan yield Surat Berharga Negara (SBN) Indonesia menyempit, yang berisiko memicu capital outflow, pada akhirnya akan menekan rupiah.

Penurunan yield Treasury terjadi setelah bos bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed), Jerome Powell, mengatakan perekonomian AS masih jauh dari kata pulih dari kemerosotan akibat pandemi penyakit virus corona (Covid-19). Oleh karena itu, bantuan dari kebijakan moneter longgar masih diperlukan.

The Fed saat ini menerapkan kebijakan suku bunga rendah 0,25%, dan masih akan dipertahankan hingga 2 tahun ke depan. Hal tersebut tercermin dari data dari Fed Dot Plot, yang menggambarkan proyeksi suku bunga para pembuat kebijakan (Federal Open Market Committee), menunjukkan suku bunga baru akan dinaikkan pada tahun 2023.

Selain itu, ada juga kebijakan pembelian aset atau yang dikenal dengan istilah quantitative easing (QE) nilainya mencapai US$ 120 miliar per bulan.

"Perekonomian AS masih jauh dari target inflasi dan pasar tenaga kerja kami, dan kemungkinan memerlukan waktu cukup lama untuk mendapatkan kemajuan yang substansial," kata Powell dalam testimoninya di hadapan Komite Perbankan Senat, Kongres AS, sebagaimana dilansir CNBC International, Selasa (24/2/2021).

Selain penurunan yield Treasury, indeks dolar AS juga mengalami penurunan hari ini. Melansir data Refinitiv, indeks yang mengukur kekuatan dolar AS ini turun 0,1% ke 90,081 sore ini. Selain The Fed yang belum akan merubah kebijakannya dalam waktu dekat, rencana pemerintah AS untuk menggelontorkan stimulus fiskal senilai US$ 1,9 triliun juga menekan the greenback.

Stimulus tersebut akan menjadi yang terbesar kedua sepanjang sejarah AS, setelah US$ 2 triliun yang digelontorkan pada bulan Maret 2020 lalu.

House of Representative (DPR) AS akan melakukan voting terhadap proposal stimulus senilai US$ 1,9 triliun tersebut di pekan ini. Jika berhasil disetujui, maka proposal tersebut selanjutnya akan diserahkan ke Senat.

Stimulus tersebut diharapkan bisa cair sebelum pertengahan Maret, dimana stimulus fiskal yang ada saat ini akan berakhir.

Saat stimulus tersebut cair, maka jumlah uang yang beredar di perekonomian AS akan bertambah. Secara teori dolar AS akan melemah.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article The Fed Tetap Tegas, Rupiah Tetap Liar!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular