
Berkat Bos The Fed, Siap-siap Rupiah Catat Penguatan Beruntun

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah mampu mempertahankan penguatan melawan dolar Amerika Serikat (AS) hingga pertengahan perdagangan Rabu (24/2/2021). Meski demikian penguatan tersebut terpangkas ketimbang di awal perdagangan pagi tadi.
Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan menguat 0,28% ke Rp 14.050/US$. Tetapi setelahnya penguatan tersebut terpangkas hingga tersisa 0,04% saja di Rp 14.085/US$.
Pada pukul 12:00 WIB, rupiah berada di level Rp 14.080/US$, menguat 0,07% di pasar spot. Rupiah terlihat masih akan mampu mempertahankan penguatan di sisa perdagangan hari ini, dan membukukan penguatan 2 hari beruntun. Hal tersebut terindikasi dari pergerakannya di pasar non-deliverable forward (NDF) yang lebih lemah siang ini tetapi tidak terlalu besar ketimbang beberapa saat sebelum pembukaan perdagangan pagi tadi.
Periode | Kurs Pukul 8:54 WIB | Kurs Pukul 11:54 WIB |
1 Pekan | Rp14.067,00 | Rp14.080,5 |
1 Bulan | Rp14.092,00 | Rp14.128,3 |
2 Bulan | Rp14.160,00 | Rp14.176,5 |
3 Bulan | Rp14.202,40 | Rp14.225,4 |
6 Bulan | Rp14.357,90 | Rp14.379,3 |
9 Bulan | Rp14.532,90 | Rp14.548,9 |
1 Tahun | Rp14.717,90 | Rp14.732,6 |
2 Tahun | Rp15.430,00 | Rp15.445,0 |
NDF adalah instrumen yang memperdagangkan mata uang dalam jangka waktu tertentu dengan patokan kurs tertentu pula. Pasar NDF belum ada di Indonesia, hanya tersedia di pusat-pusat keuangan internasional seperti Singapura, Hong Kong, New York, atau London.
Pasar NDF seringkali mempengaruhi psikologis pembentukan harga di pasar spot. Oleh karena itu, kurs di NDF tidak jarang diikuti oleh pasar spot.
Penguatan rupiah hari ini terjadi setelah yield obligasi (Treasury) AS turun 2,9 basis poin ke 1,3348%. Yield Treasury AS sebelumnya mencapai level tertinggi sejak Februari 2020, atau sebelum virus corona dinyatakan sebagai pandemi.
Kenaikan yield tersebut membuat selisihnya dengan yield Surat Berharga Negara (SBN) Indonesia menyempit, yang berisiko memicu capital outflow, pada akhirnya akan menekan rupiah.
Penurunan yield Treasury terjadi setelah bos bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed), Jerome Powell, mengatakan perekonomian AS masih jauh dari kata pulih dari kemerosotan akibat pandemi penyakit virus corona (Covid-19). Oleh karena itu, bantuan dari kebijakan moneter longgar masih diperlukan.
The Fed saat ini menerapkan kebijakan suku bunga rendah 0,25%, dan masih akan dipertahankan hingga 2 tahun ke depan. Hal tersebut tercermin dari data dari Fed Dot Plot, yang menggambarkan proyeksi suku bunga para pembuat kebijakan (Federal Open Market Committee), menunjukkan suku bunga baru akan dinaikkan pada tahun 2023.
Selain itu, ada juga kebijakan pembelian aset atau yang dikenal dengan istilah quantitative easing (QE) nilainya mencapai US$ 120 miliar per bulan.
"Perekonomian AS masih jauh dari target inflasi dan pasar tenaga karja kami, dan kemungkinan memerlukan waktu cukup lama untuk mendapatkan kemajuan yang substansial," kata Powell dalam testimoninya di hadapan Komite Perbankan Senat, Kongres AS, sebagaimana dilansir CNBC International, Selasa (24/2/2021).
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Joss, Rupiah Terbaik Kedua Di Asia, Gas Terus!
