
Bursa Asia Mayoritas Ditutup Merah, Nikkei-STI-IHSG Selamat

Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa Asia mayoritas berakhir melemah pada Senin (19/2/2021) awal pekan ini, di tengah pergerakan bursa global yang masih volatil dan rentan terkoreksi oleh aksi ambil untung (profit taking).
Hanya indeks Nikkei Jepang dan indeks Straits Times Singapura yang ditutup di zona hijau pada perdagangan hari ini. Nikkei menguat 0,46% ke level 30.156,03, setelah melesat pada awal perdagangan hari ini dan STI Singapura naik tipis 0,02% ke posisi 2.881,21.
Sedangkan untuk indeks Hang Seng Hong Kong, Shanghai Composite China, dan KOSPI Korea Selatan ditutup di zona merah hari ini. Aksi ambil untung (profit taking) masih terjadi di ketiga indeks tersebut dan membuat saham-saham besar terkoreksi dalam.
Indeks Hang Seng ditutup ambles 1,06% ke level 30.319,83, Shanghai ambrol 1,45% ke 3.642,44 dan KOSPI terperosok 0,9% ke 3.079,75.
Sementara itu, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup di zona hijau pada perdagangan hari ini, di mana indeks bursa saham acuan Tanah Air tersebut ditutup menguat 0,38% ke level 6.255,31, meski kembali gagal ditutup di atas 6.300. Padahal di sesi I, IHSG berhasil ditutup di level psikologis 6.300.
Data perdagangan mencatat nilai transaksi hari ini sebesar sebesar Rp 16 triliun dan terpantau investor asing membeli bersih Rp 516 miliar di pasar reguler.
Di China, saham blue chip terkena aksi profit taking karena investor menilai valuasi saham-saham tersebut sudah cukup tinggi dan risiko pengetatan kebijakan suku bunga pinjaman bank sentral China.
Sedangkan di Korea Selatan (Korsel), indeks KOSPI melemah karena saham teknologi dan internet kembali terkoreksi dan lonjakan imbal hasil (yield) Treasury AS dan kekhawatiran tentang pengetatan kebijakan suku bunga pinjaman di China.
Saham Samsung Electronics melemah 0,48%, sedangkan saham internet Naver dan LG Chem masing-masing ambles 2,89% dan 2,66%.
Pada Sabtu (20/2/2021) lalu, People Bank of China (PBoC) memutuskan untuk tetap mempertahankan suku bunga pinjaman berjangka 1 tahun di angka 3,85%.
Hal ini sejalan dengan konsensus dari Reuters yang memperkirakan PBoC akan tetap mempertahankan suku bunga acuannya di level 3,85%.
Sedangkan untuk suku bunga pinjaman berjangka 5 tahun, bank sentral Negeri Tirai Bambu tersebut juga mempertahankannya di level 4,65%.
Namun, beberapa pengamat ekonomi memperkirakan bahwa pihak berwenang mungkin mulai menetapkan kebijakan yang lebih ketat.
"Kondisi moneter dalam praktiknya telah diperketat sejak awal tahun, kami memperkirakan PBoC akan melakukan perubahan dengan menaikan suku bunga acuannya dalam beberapa bulan mendatang," kata analis di Capital Economics.
Sementara itu, beberapa investor mulai khawatir melihat kenaikan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS di tengah risiko inflasi. Yield surat utang pemerintah bertenor 10 tahun yang menjadi acuan pasar kembali melampaui level 1,3%.
Yield naik ketika inflasi menguat karena investor yakin bank sentral akan mengerem kebijakan longgarnya dan mengurangi pembelian aset. Imbal hasil yang tinggi bisa memicu lonjakan beban emiten obligasi yang pada gilirannya juga menekan kinerja mereka dan saham mereka di bursa.
Adapun yield untuk obligasi pemerintah AS bertenor 10 tahun melompat 14 basis poin pekan lalu menjadi 1,34%, atau mendekati titik tertingginya sejak Februari 2020. Sepanjang bulan berjalan, imbal hasil surat utang tersebut menguat 25 basis poin (bp).
Di lain sisi, pemerintah AS bakal menarik perhatian pemodal karena bakal mengumumkan rencana mencabut pembatasan sosial yang diberlakukannya secara gradual.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(chd/chd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Bursa Asia Mayoritas Dibuka Hijau, KOSPI Memimpin!
