Ekspor Non-Minyak Singapura Naik, Dolarnya Sentuh Rp 10.570

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
18 February 2021 13:07
FILE PHOTO: A Singapore dollar note is seen in this illustration photo May 31, 2017.     REUTERS/Thomas White/Illustration/File Photo
Foto: Dollar Singapur (REUTERS/Thomas White)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar dolar Singapura menguat melawan rupiah pada perdagangan Kamis (18/2/2021). Ekspor non-minyak Singapura yang kembali meningkat menopang penguatan mata uangnya.

Melansir data Refinitiv, dolar Singapura menguat 0,3% ke Rp 10.573,92/SG$ di pasar spot. Level tersebut merupakan yang tertinggi sejak 29 Januari.

Data yang dirilis Rabu kemarin menunjukkan ekspor non-minyak Singapura bulan Januari naik 12,8% year-on-year (YoY), dan sudah naik dalam 2 bulan beruntun.

Hal tersebut tentunya menjadi kabar bagus, permintaan dari negara mitra dagang Singapura sudah mulai pulih, apalagi kenaikan ekspor tersebut lebih tinggi dari konsensus 5,4% di Trading Economics.

Kenaikan ekspor tersebut terutama didorong oleh pengiriman mesin, emas non moneter, pertrokimia, dan barang-barang elektronik, sebagaimana dilansir The Strait Times, Rabu (17/2/2021).

Ekonom UOB, Barnabas Gas mengatakan, tingginya ekspor menguatkan pandangan UOB jika pemulihan ekonomi global serta naiknya harga minyak mentah akan memberikan momentum bagi ekspor Singapura.

"Ini (kenaikan ekspor) menunjukkan pengiriman produk seperti bahan kimia, petrokimia, dan peralatan elektronik yang merosot pada pekan lalu akan menjadi positif di tahun ini," kata Gas.

Sementara itu, dari dalam negeri pelaku pasar menanti pengumuman kebijakan moneter Bank Indonesia (BI).

BI akan mengumumkan kebijakan moneter mulai pukul 14.00 WIB. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia juga menunjukkan BI diperkirakan akan menurunkan suku bunga sebesar 25 basis poin menjadi 3,5%.

Penurunan tersebut dilakukan guna mendorong pertumbuhan ekonomi, yang tentunya akan direspon positif oleh pelaku pasar.

Tetapi di sisi lain, penurunan suku bunga dapat menyempitkan imbal hasil berinvestasi di Indonesia dengan di Amerika Serikat, yang tentunya berdampak kurang bagus bagi rupiah. Sebagai aset negara emerging market, rupiah perlu yield yang tinggi untuk meningkatkan daya tariknya.

Oleh karena itu, rupiah "berada dalam dilema" jika BI memangkas suku bunganya.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Dolar Singapura Liar Pekan Ini, Efek Pengetatan Moneter?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular