Rupiah Boleh Libas Dolar AS, Namun Kalah Telak Dengan Eropa

Chandra Dwi, CNBC Indonesia
14 February 2021 18:30
Ilustrasi Rupiah dan dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: Ilustrasi Rupiah dan dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Kinerja rupiah pada pekan ini terbilang cukup bagus, di mana rupiah berhasil melibas dolar Amerika Serikat (AS) dan bertengger kembali ke level psikologis 13.000.

Pergerakan rupiah sepekan ini terhitung prima dengan langsung masuk level psikologis 13.000 dan konsisten menguat dalam 4 hari perdagangan. Libur hari raya Tahun baru China (Imlek) menolong rupiah karena indeks dolar AS tercatat menguat pada Jumat (12/2/2021) kemarin.

Pada Kamis, Mata Uang Garuda bertengger di level 13.970 per dolar AS, atau menguat tipis 0,07% secara harian. Secara mingguan, rupiah juga terapresiasi, yakni sebesar 0,36% dibandingkan dengan posisi akhir pekan lalu pada Rp 14.020 per dolar AS.

Di Asia juga, Rata-rata mata uang utama Benua Kuning pun mampu melawan greenback pekan ini. Hanya tiga dari sebelas mata uang Asia yang cenderung kalah di hadapan greenback.

Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Benua Kuning sepanjang pekan ini:

Sementara itu jika dihadapkan dengan sesama mata uang Asia Pasifik, rupiah menang melawan lima dari sebelas mata uang Asia-Pasifik, yakni menang dengan yuan China, dolar Hong Kong, rupee India, peso Filipina, dan dolar Taiwan.

Berikut perkembangan kurs mata uang Benua Kuning di hadapan rupiah pada pekan ini:

Sementara itu di Eropa, rupiah pun tidak berkutik sama sekali. Dari ketiga mata uang Eropa, tidak ada satupun rupiah kuat melawan tiga mata uang Eropa tersebut.

Berikut perkembangan kurs mata uang utama Eropa terhadap rupiah pada pekan ini:

Penguatan rupiah selama 4 hari beruntun (dari Senin hingga Kamis) sebesar 50 poin didorong oleh kian dekatnya pencairan stimulus fiskal jumbo senilai US$ 1,9 triliun di AS. Pemerintah dan bank sentral AS pun mempertahankan kebijakan makro akomodatif untuk memacu ekonomi.

Jerome Powell sebagai bos otoritas moneter paling powerful di dunia yakni The Fed kembali menegaskan bahwa kebijakan ultra-longgar masih dibutuhkan untuk mendongkrak perekonomian.

Suku bunga acuan tak akan dinaikkan sampai setidaknya tahun 2023. Tapering dan pengetatan moneter untuk saat ini dinilai Powell sebagai tindakan yang prematur. Kebijakan ini jelas membuat dolar AS tertekan.

Tambahan stimulus berarti tambahan uang beredar yang secara teoritis menekan nilai dolar AS. Likuiditas yang berlimpah memicu inflow ke pasar keuangan negara berkembang tak terkecuali Indonesia. Pelemahan dolar AS, imbal hasil riil obligasi pemerintah AS yang sudah negatif.

Aset-aset keuangan di Indonesia pun dilirik karena memberikan imbal hasil yang menarik. Di pasar surat utang negara (SUN) imbal hasil SBN tenor 10 tahun masih di angka 6%. Jika dikurangi dengan inflasi sebesar 1,6% maka imbal hasil riil-nya masih 4,4%.

Namun pada Jumat, indeks dolar AS yang merupakan acuan pergerakan mata uang dolar AS terhadap enam mata mitra dagang utamanya justru menguat 0,02% menjadi 90,43. Penguatan tersebut terjadi lebih karena pelemahan mata uang mitra dagang khususnya poundsterling.

Inggris merilis pertumbuhan ekonomi minus 9,9% pada 2020, atau menjadi koreksi tahunan yang terbesar dan terburuk dalam sejarah pencatatan Produk Domestik Bruto (PDB) mereka. Stering pun melemah 0,21% terhadap dolar AS dari 1,3815 menjadi 1,3844.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(chd/roy)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Tak Cuma Dolar AS, Rupiah Kalah dari Mata Uang Asia-Eropa

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular