
BRIS Bakal Rights Issue, Simak Dulu Hitung-hitungannya Gaes!

Jakarta, CNBC Indonesia - Kabar menarik bagi pemegang saham PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BRIS). Pemegang saham utama BRIS yakni Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) berencana membuka peluang bagi investor asing untuk menjadi investor baru pemilik saham di BRIS.
Peluang investor asing masuk akan dilakukan melalui Sovereign Wealth Fund atau dana abadi bernama Indonesia Investment Authority (INA).
Hal itu disampaikan Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo yang mengatakan bank syariah milik bank BUMN Himbara ini masih memerlukan peningkatan modal yang cukup besar untuk menunjang bisnisnya.
Sebab itu, peningkatan modal ini akan dilakukan melalui penerbitan saham baru dengan hak memesan efek terlebih dahulu atau rights issue.
"Dan kami ingin melakukan rights issue dan tentunya jika adamatch of interestkami akan sangat terbuka untuk bekerjasama dengan investor mulai investor yang ingin mengambil block seed di BSI ke depannya," kata Kartika dalam Mandiri Investment Forum 2021, Rabu (3/2/2021).
Adapun bank syariah terbesar di negeri ini baru saja diresmikan awal pekan ini,Senin 1 Februari 2021 oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) langsung di Istana Negara.
Lantas bagaimana perhitungan rights issue ini?
NEXT: Bakal Rights Issue, jadi gimana?
Bank ini adalah gabungan dari PT Bank BRISyariah Tbk (BRIS), PT Bank Syariah Mandiri, dan PT Bank BNI Syariah, dengan tetap memakai kode perdagangan saham BRIS.
Memang, berapa dana yang ingin dihimpun, berapa jumlah saham yang akan diterbitkan, serta berapa harga pelaksanaan masih belum ditentukan karena rencana rights issue (RI) BRIS masih berupa wacana, kendati ini perlu dilakukan lantaran saham publik di BRIS juga hanya 4,4%, kurang dari ketentuan free float minimal saham publik 7,5%.
Akan tetapi, tanpa bermaksud untuk mendahului, berikut asumsi-asumsi yang bisa digunakan, berdasarkan perhitungan Tim Riset CNBC Indonesisa.
Tercatat modal inti BRIS saat ini mencapai Rp 22,6 triliun yang menempatkan BRIS sebagai bank BUKU (bank umum kelompok usaha) III alias bank dengan modal inti Rp 5 triliun hingga Rp 30 triliun.
Apabila BRIS berencana naik kelas menjadi bank BUKU IV maka masih dibutuhkan modal sebesar Rp 7,4 triliun.
Untuk harga pelaksanaan RI, OJK mengharuskan harga minimal yang digunakan adalah harga wajar perusahaan yang sudah dinilai oleh KJPP.
Hal ini sesuai dengan Peraturan OJK Nomor 14/POJK.04/2019 tentang Perubahan Peraturan OJK Nomor 32 tentang Penambahan Modal Perusahaan Terbuka dengan Memberikan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu.
Pasal 11A POJK tersebut menyebutkan, "harga saham pada pelaksanaan penambahan modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a dan huruf b untuk perusahaan terbuka yang sahamnya tidak tercatat dan tidak diperdagangkan di Bursa Efek paling rendah sama dengan harga pasar wajar yang ditetapkan oleh Penilai."
Hal ini berbeda dengan skema private placement di mana sesuai Peraturan Nomor I-A, disebutkan saham tambahan yang berasal dari private placement tetapi tidak termasuk Program Kepemilikan Saham, dapat dicatatkan di Bursa apabila memenuhi persyaratan, yakni harga pelaksanaan paling sedikit 90% dari rata-rata harga penutupan saham emiten dalam 25 Hari Bursa berturut-turut di Pasar Reguler.
Adapun valuasi terakhir saham BRIS sebelum merger terakhir berada di angka Rp 781/saham yang tentunya saat ini pasti sudah meningkat karena prospek gabungan ketiga bank syariah yang cerah.
Memang masih sulit untuk menentukan nilai wajar harga saham BRIS saat ini karena perseroan baru beroperasi kurang dari 1 bulan sehingga analisis hanya merupakan prediksi.
Jika diasumsikan harga saham BRIS pascamerger sudah meningkat sebanyak 50% dari sebelum merger maka bisa diperkirakan saat ini nilai wajar terendah BRIS yang dapat digunakan sebagai acuan RI berada di angka Rp 1.172/unit.
Apabila perseroan ingin menghimpun dana Rp 7,4 triliun dengan harga pelaksanaan RI di angka Rp 1.172/unit maka BRIS perlu menerbitkan 6,3 miliar saham baru.
Mengacu pada laporan jumlah saham BRIS terakhir di angka 40,6 juta saham maka setiap 6,4 saham lama akan mendapat 1 saham baru (6,4:1).
Apabila skenario ini yang dipakai maka efek dilusi yang terjadi di pemegang di saham BRIS akan mencapai 7,61%. Pemegang saham publik kepemilikanya akan tersisa 4,07% apabila para investor publik tidak mengeksekusikan hak mereka sama sekali.
Harga teoritis saham akan turun menjadi angka Rp 2.480/unit dari posisi penutupan terakhir di harga Rp 2.680/unit.
Namun apabila asumsi harga yang digunakan adalah harga rata-rata perdagangan BRIS selama 90 hari terakhir di angka Rp 1.814/unit maka perseroan hanya perlu menerbitkan saham sebanyak 4,08 miliar saham baru. Di angka ini maka setiap 9,95 saham lama mendapat 1 saham baru. (9,95:1).
Apabila skenario ini yang dipakai maka efek dilusi yang terjadi di pemegang di saham BRIS hanya mencapai 2,98%. Pemegang saham publik kepemilikanya akan tersisa 4,27% apabila para investor publik tidak mengeksekusikan hak mereka sama sekali.
Harga teoritis saham akan turun menjadi angka Rp 2.600/unit dari posisi penutupan terakhir di harga Rp 2.680/unit.
Namun ini hanyalah perhitungan sementara berdasarkan data yang ada, tentu masih menunggu keputusan resmi dari pemegang saham.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(tas/tas)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Saham BRIS 'Kerasukan', Asing Borong Rp 73 M! Efek Apa Nih?
