
Dihajar Luar-Dalam, IHSG Terkapar & Terkoreksi 7,05% Sepekan

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar saham Indonesia pekan ini sedang menghadapi ujian yang cukup berat, di mana Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) selama sepekan ini terkoreksi hingga 7,05% selama tujuh hari beruntun.
Pada perdagangan Jumat (29/1/21) akhir pekan ini, IHSG terkoreksi 1,96% di level 5.862,35 dan IHSG pun menjebol ke bawah level psikologis 6.000.
Hal ini karena beberapa sentimen negatif di dalam negeri yang turut membuat IHSG semakin tak kuat menanjak sepanjang pekan ini.
Sentimen pertama yakni terkait diperpanjangnya pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) di kota-kota utama di Jawa dan Bali hingga 8 Februari 2021 mendatang
Keputusan perpanjangan PPKM tersebut itu disampaikan oleh Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional Airlangga Hartarto dalam keterangan pers di Kantor Presiden, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (21/1/2021).
Pada awal pekan ini, yakni Senin (25/1/21), Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta juga memutuskan untuk memperpanjang masa pembatasan social berskala besar (PSBB).
Keputusan itu tertuang dalam Peraturan Gubernur Nomor 51 Tahun 2021 yang diteken Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan per 22 Januari 2021.
"Menetapkan perpanjangan pemberlakuan, jangka waktu dan pembatasan aktivitas luar rumah Pembatasan Sosial Berskala Besar selama 14 hari terhitung sejak tanggal 26 Januari 2021 sampai dengan tanggal 8 Februari 2021," tulis Pergub Nomor 51 Tahun 2021.
Anies meminta kepada semua pihak untuk senantiasa menerapkan protokol kesehatan. Aturan mengenai protokol kesehatan tertuang dalam Pergub Nomor 3 tahun 2021 tentang peraturan pelaksanaan Perda Nomor 2 Tahun 2020 tentang penanggulangan Covid-19.
Sebagai gambaran, PSBB Transisi di DKI Jakarta dimulai pada 11 Januari hingga 25 Januari 2021. Aturan tersebut mengikuti periode pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) yang diterapkan pemerintah pusat. PPKM telah diperpanjang hingga 8 Februari 2021.
Selain karena sentimen dari perpanjangan penerapan PPKM, sentimen dari kasus positif virus corona (Covid-19) di Tanah Air yang sudah tembus 1 juta kasus juga menjadi pemberat IHSG untuk menanjak dari level pelemahan.
Data Kementerian Kesehatan menunjukkan hingga Kamis lalu, total pasien baru atau kasus terjangkit Covid-19 bertambah 13.695 orang sehingga totalnya 1.037.993 orang.
Kasus baru tersebut ditemukan pada 54.114 orang yang selesai menjalani tes Covid-19 pada hari ini. Dengan jumlah tersebut maka dari setiap 4 tes Covid-19 ditemukan 1 kasus positif.
Kemenkes juga mencatat setidaknya ada 476 kasus kematian dalam sehari terakhir. Rekor ini memecahkan rekor yang tercipta sehari sebelumnya yakni 387 kasus kematian.
Total kasus kematian akibat Covid-19 di RI menembus 29.331 orang. Sementara itu, pasien sembuh bertambah 10.792 orang dalam sehari sehingga totalnya menjadi 842.122 orang.
Dengan data tersebut, maka jumlah kasus aktif atau pasien yang membutuhkan perawatan baik di fasilitas kesehatan maupun isolasi mandiri tercatat naik menjadi 166.540 orang dibandingkan dengan sehari sebelumnya 164.113 orang. Ini merupakan rekor untuk kasus aktif.
Sebagai informasi, penyakit mematikan ini telah menyebar ke 510 kabupaten/kota di 34 provinsi. Pemerintah masih memantau 82.676 orang berstatus suspek Covid-19.
Ambruknya Wall Street pada perdagangan Rabu (27/1/21) juga menjadi pemicu koreksi IHSG pada pekan ini, di mana indeks acuan Paman Sam tersebut terkoreksi lebih dari 2%.
Koreksi Wall Street di zona merah dengan koreksi yang cukup parah tentu saja bisa menjadi sentimen negatif tersendiri bagi Bursa Asia termasuk IHSG. Depresiasi bursa Paman Sam bisa menyebrang benua dan menjadi penyebar ketakutan di pasar dimana bisa saja menyebabkan indeks acuan kalah sebelum bertanding.
Di AS sendiri, sesuai dengan ekspektasi pasar dimana The Fed ternyata tidak akan meningkatkan suku bunga dan tetap akan melakukan pembelian obligasi dalam jumlah besar untuk menginjeksi likuiditas ke pasar sehingga ketakutan pasar akan adanya taper tantrum tidak berdasar karena posisi yang dilakukan The Fed masih posisi kebijakan moneter longgar.
Komite pasar terbuka The Fed (Federal Open Market Committee/FOMC) memutuskan untuk tetap mempertahankan suku bunga acuannya di level 0% hingga 0,25% dan menjaga pembelian obligasi berada di posisi US$ 120 miliar per bulan.
Bank Sentral AS tersebut memberi sinyal bahwa jalur ekonomi AS akan bergantung terhadap kasus corona, salah satunya bagaimana progres dari vaksinasi, di mana The Fed mengatakan krisis kesehatan publik ini menganggu aktivitas ekonomi,
Gubernur The Fed sendiri mengatakan bahwa Bank Sentral AS ini akan mengambil langkah Wait and See terhadap potensi terjadinya inflasi setelah pandemi corona meskipun menurutnya hal ini masih akan lama.
"Ekonomi masih akan berada jauh di bawah target tingkat pengangguran dan inflasi dan masih akan lama sampai progress yang substansial akan tercapai" ujar Jay Powell.
Powell juga mengatakan saham-saham yang melesat dalam beberapa periode terakhir bukan diakibatkan oleh kebijakan moneter yang dilakukan akan tetapi lebih terhadap kebijakan fiskal dan ekspektasi terhadap vaksin.
Hal lainnya yang mungkin membuat IHSG terkoreksi adalah kondisi kepanikan bursa efek sendiri, di mana sepanjang pekan ini banyak saham dengan nilai perdagangan tinggi yang anjlok ke level terendahnya yang diijinkan oleh bursa alias auto rejection bawah (ARB).
Hal ini terjadi pertama tentunya akibat aturan ARB asimetris yang diterapkan oleh bursa, di mana batasan kenaikan maksimal (ARA) bisa mencapai 35% namun koreksi hanya dibatasi 7% sehingga apabila saham sudah melesat kencang maka akan terkoreksi di level ARB selama berberapa hari.
Selain itu tentu saja faktor psikologis juga memicu aksi jual trader dimana jika saham sudah anjlok 5%-6% para trader buru-buru melakukan aksi jual di level ARB agar dana tidak menyangkut. Apalagi jika suatu saham ARB maka potensi koreksi di keesokan hari sangatlah tinggi sehingga anjloknya saham hingga titik terendah lebih cepat terjadi.
Selanjutnya beberapa analis juga menganggap ambruknya berberapa saham yang ramai diperdagangkan diakibatkan oleh beberapa trader yang melakukan pembelian menggunakan trading limit (TL).
Sehingga ketika saham anjlok dan sang trader tidak dapat menyuntikkan dana untuk menutupi limitnya, sekuritas terpaksa melakukan jual paksa alias forced sell terhadap saham-saham yang dibeli sang trader pada hari keempat (T 4).
Setelah sahamnya ambruk, hal ini menyebabkan efek domino berkelanjutan di mana para investor yang melakukan pembelian menggunakan margin, tidak dapat menutupi rasio kecukupan asetnya dan terkena margin call.
Ketika banyak investor yang tidak dapat menutup pembelianya maka forced sell efek-efek margin berlanjut dan membuat indeks terkoreksi parah selama berberapa hari.
Hal ini sangat dimungkinkan sekali mengingat nilai transaksi bursa selama 3 hari terakhir tergolong sangat sepi yakni di bawah Rp 18 triliun turun dari posisi normal yang berada di kisaran Rp 23 triliun - Rp 24 triliun.
Turunnya nilai transaksi terjadi karena para trader yang melakukan pembelian menggunakan TL tidak lagi dapat melakukan pembelian karena belum membayar 'hutangnya' alias suspend buy pada T 3.
Apalagi akhir-akhir ini beredar tangkapan layar di kalangan para pelaku pasar di mana salah satu sekuritas besar di Indonesia mengatakan banyak nasabah yang gagal menutup pinjaman trading limit-nya berberapa hari terakhir. Mereka menyarankan agar para nasabah bertransaksi sesuai dengan kecukupan modalnya masing-masing.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(chd/chd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Jokowi Disuntik Vaksin Corona, Bursa RI Siap-siap ke 6.500