IHSG Sudah Ambrol 7%, Jangan Panik! The Fed Siap Membantu

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
28 January 2021 16:18
Ilustrasi IHSG
Foto: Ilustrasi IHSG (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kembali merosot 2,12% ke 5.979,387 pada perdagangan Kamis (28/1/2021). Dengan demikian, IHSG sudah ambrol dalam 6 hari beruntun, dengan total 7%.

Meski demikian, tidak perlu panik berlebihan melihat ambrolnya IHSG, sebab bank sentral Amerika Serikat (AS) atau The Fed "akan membantu" bursa saham kembali menanjak.

"Bantuan" dari The Fed tersebut terlihat saat pengumuman kebijakan moneter dini hari tadi. The Fed di bawah komando Jerome Powell mempertahankan suku bunga di rekor terendah <0,25% dan program pembelian aset (quantitative easing/QE) senilai US$ 120 miliar per bulan.

Kebijakan tersebut masih dipertahankan sebab The Fed melihat pemulihan ekonomi yang nyungsep akibat pandemi penyakit virus corona (Covid-19) di Negeri Paman Sam mengalami pelambatan

Setelah mengalami kontraksi 5% di tiga bulan pertama 2020, produk domestik bruto (PDB) di kuartal II-2020 malah ambrol hingga 31,4% secara quarterly annualized atau kuartalan yang disetahunkan (dikali 4). Kontraksi tersebut menjadi yang paling parah sepanjang sejarah AS. Dengan kontraksi yang terjadi dalam dua kuartal beruntun, artinya Negeri Adikuasa mengalami resesi.

Perekonomian AS memang bangkit di kuartal III-2020, melesat 33,4%, tetapi tingginya PDB tersebut lebih karena low base effect dari kuartal sebelumnya.

Sementara PBD di kuartal IV-2020 yang akan dirilis malam ini, diprediksi hanya tumbuh 4%, berdasarkan hasil polling Reuters.

"Perekonomian masih jauh dari target inflasi dalam kebijakan moneter kami, dan kemungkinan membutuhkan waktu beberapa lama untuk mencapai kemajuan yang substansial. Kebijakan masih akan "sangat akomodatif saat pemulihan sedang berlangsung," kata ketua The Fed, Jerome Powell, sebagaimana dilansir CNBC International, Kamis (28/1/2021).

Selain itu, dalam konferensi pers usai mengumumkan kebijakan moneter. Powell mengatakan laju pemulihan ekonomi dan pasar tenaga kerja dalam berberapa bulan terakhir berjalan secara moderat, dengan pelemahan terjadi di sektor yang paling terdampak pandemi.

Sementara itu, "bisik-bisik" pengurangan nilai QE atau yang dikenal dengan tapering di akhir tahun ini, yang selama ini beredar di pasar, dibantah oleh Powell.

"Mengenai tapering, itu masih prematur. Kamu baru saja membuat panduan. Kami mengatakan kami ingin melihat kemajuan yang substansial menuju target kami sebelum kami memodifikasi panduan QE. Dan itu masih terlalu prematur untuk membahas kapan waktunya, kami harus fokus dalam kemajuan yang ingin kami lihat," kata Powell.

Pernyataan Powell tersebut membuat "bisik-bisik" tapering di akhir tahun ini meredup. Jika tapering tidak dilakukan, artinya likuiditas di pasar masih akan besar sehingga bursa saham global masih berpeluang menanjak lagi.

Selain itu, pernyataan Powell yang harus diperhatikan juga yakni kebijakan akan "sangat akomodatif saat pemulihan sedang berlangsung." Artinya, ketika laju pemulihan ekonomi AS terus memburuk, maka The Fed akan bertindak lebih jauh dengan menambah nilai QE.

Berkaca dari tahun 2008 ketika terjadi krisis finansial global, The Fed juga menerapkan kebijakan yang sama, suku bunga <0,25% dan QE hingga perekonomian AS pulih.

Setelah pulih, The Fed melakukan tapering, nilai QE mulai dikurangi secara perlahan, tidak langsung di hentikan begitu saja. Setelah QE selesai, tahap selanjutnya baru mulai melakukan normalisasi alias menaikkan suku bunga.

Berdasarkan data dari Fed Dot Plot, menunjukkan suku bunga paling cepat baru akan dinaikkan pada tahun 2023. Sehingga, perekonomian AS masih akan banjir likuditas dalam 2 tahun ke depan, dan negara-negara emerging market, seperti Indonesia juga akan kecipratan.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Stimulus Moneter dan Fiskal AS Kunci Kebangkitan Bursa Saham

Di tengah pandemi Covid-19 bursa saham AS (Wall Street) berkali-kali mencetak rekor tertinggi sepanjang masa. Namun, sebelumnya di bulan Maret tahun lalu, kiblat bursa saham dunia ini sempat mengalami aksi jual masif.

Indeks S&P 500 pada 5 Februari 2020 menyentuh rekor tertinggi sepanjang masa 3.393,52. Tetapi setelahnya ambrol hingga menyentuh 2.191,73 pada 9 Maret 2020, atau ambrol lebih dari 35% dan menyentuh level terendah sejak November 2016. Hal yang sama juga terjadi pada 2 indeks utama lainnya, Dow Jones dan Nasdaq.

Sejak saat itu, Wall Street perlahan bangkit berkat stimulus moneter The Fed, sementara pemerintah AS saat itu di bawah komando Presiden ke-45 Donald Trump menggelontorkan stimulus fiskal senilai US$ 2 triliun.

Alhasil, Wall Street terus menanjak dan rekor tertinggi sepanjang sejarah berkali-kali dicetak.

Terbaru, S&P 500 pada Selasa (26/1/2021) mencatat rekor di 3.870,9, sebelum berbalik melemah. Nasdaq mencetak rekor sehari sebelumnya di 13.728,984, sementara Dow Jones pada Kamis (21/1/2021) di 31.272,22.

Sepanjang tahun lalu, S&P 500 melesat 16,26%, Nasdaq "terbang" 43,64%, dan Dow Jones naik 7,25%.

Melesatnya Wall Street tersebut menjadi salah satu pemicu kebangkitan IHSG, yang juga sempat dihantam aksi jual masif pada Maret 2020 lalu.

Kini, orang nomer 1 di AS sudah berganti, Joseph 'Joe' Biden dilantik menjadi Presiden AS ke-46 pada 20 Januari lalu. Biden berjanji akan kembali menggelontorkan stimulus fiskal senilai US$ 1,9 triliun.

Artinya, Amerika Serikat akan kembali banjir likuiditas seperti tahun lalu, dan Wall Street berpeluang kembali menanjak. Sekali lagi, Indonesia sebagai negara emerging market dengan imbal hasil yang tinggi berpotensi kecipratan capital inflow, yang bisa menopang pasar keuangan.

Selain itu, stimulus fiskal US$ 1,9 triliun ketika cair akan menekan nilai tukar dolar AS, sebab jumlah uang yang beredar menjadi bertambah. Hal tersebut juga akan menguntungkan bagi negara-negara emerging market.

"Tambahan stimulus fiskal akan membuat dolar AS melemah dan itu akan selalu positif bagi emerging market dan pasar Asia," kata Joel Ng, analis di KGI Securities Singapura, sebagaimana dilansir Reuters, Kamis (28/1/2021).

TIM RISET CNBC INDONESIA 

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular