Analisis

Ada Isu Wall Street Bubble, Seandainya Crash Apa Kabar IHSG?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
27 January 2021 18:50
Ilustrasi IHSG (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)
Foto: Ekspresi Trader di lantai di New York Stock Exchange (NYSE) di New York City, AS, 12 November 2018. REUTERS / Brendan McDermid

Jika dilihat secara teknikal, menggunakan indikator stochastic indeks S&P 500, Dow Jones, dan Nasdaq pada grafik kuartalan bahkan tahunan sudah berada di wilayah jenuh beli (overbought).

Stochastic merupakan leading indicator, atau indikator yang mengawali pergerakan harga. Ketika Stochastic mencapai wilayah overbought (di atas 80) atau oversold (di bawah 20), maka suatu harga suatu instrumen berpeluang berbalik arah.

jkseGrafik: Indeks S&P 500 Kuartalan 
Foto: Refinitiv

Wall Street pada periode 1999-2000 mengalami dotcom bubble. Saat itu, indikator stochastic baik di grafik kuartalan maupun tahunan berada di wilayah overbought dalam waktu yang cukup lama, hingga akhirnya terjadi crash.

Saat ini, indikator stochastic juga berada di wilayah overbought (jenuh beli) dalam waktu lama.

Saat terjadi dotcom bubble, indeks Nasdaq mencapai puncak tertinggi 5.132,520 pada 9 Maret 2020, setelahnya mengalami crash, terus menurun hingga Oktober 2002. Total kemerosotan Nasdaq lebih dari 78%.

Pada periode yang sama, indeks S&P 500 ambrol lebih 50% dan indeks Dow Jones turun lebih dari 30%.

Crash yang dialami Wall Street, kiblat bursa saham dunia, tentunya merembet ke bursa saham lainnya termasuk IHSG.

Pada periode yang sama saat Wall Street mengalami crash, IHSG ikut ambrol lebih dari 40%.

Meski demikian, risiko crash Wall Street kali ini jauh lebih rendah ketimbang saat dotcom bubble.

Pada tahun lalu, Selain itu 3 indeks utama Wall Street, indeks Russel 2000 yang berisi perusahaan-perusahaan dengan kapitalisasi pasar kecil juga melesat lebih dari 19% sepanjang tahun lalu. Reuters bahkan melaporkan emiten-emiten di Russel 2000 dengan laba operasi negatif alias merugi justru melesat lebih tinggi nyaris 50%.

Analis Goldman Sachs, David Kostin mengatakan pergerakan pasar belakangan ini menunjukkan perilaku yang konsisten terhadap sentimen bubble. Namun, Kostin melihat melesatnya saham emiten dengan laba operasi negatif di tahun 2020 lalu masih jauh di bawah era dotcom bubble 1999-2000 ketika melesat hingga 140%.

Dengan demikian, risiko terjadinya crash kali ini jauh lebih kecil ketimbang saat era dotcom bubble.

TIM RISET CNBC INDONESIA 

(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular