
Beli Saham Pakai 'Uang Panas', Begini 'Titah' Lo Kheng Hong

Praktisi pasar modal Ryan Filbert menyebut hal ini terjadi seiring dengan signifikansi peningkatan jumlah investor di tahun lalu.
Menurut dia, tingginya jumlah investor baru ini mayoritas merupakan investor pemula yang belum mengerti akan memilih saham mana dari 715 saham yang ada di Bursa Efek Indonesia (BEI).
"Pemula itu kan dari 715 saham yang ada di BEI tentunya mereka kan tidak tau inspirasi mana yang perlu dibeli. Mereka akan cenderung investasi berdasarkan katanya si A, si B atau yang populer yang diberitakan," kata Ryan kepada CNBC Indonesia, Senin (18/1/2021).
Saham yang sedang ramai diberitakan, terutama dalam beberapa waktu terakhir, memang mengalami kenaikan tinggi dan memberikan keuntungan instan bagi para investor pemula ini. Hal seperti ini biasanya memunculkan sifat greedy sehingga mereka nekat dan berpikir bahwa jika mereka berinvestasi dalam nilai lebih besar pasti akan memberikan return yang lebih tinggi pula.
Hal-hal seperti ini, menurut Ryan, memunculkan fenomena menggunakan 'uang panas' baik dari pinjaman maupun menggadaikan uang untuk berinvestasi.
Padahal, hal yang tidak disadari oleh para investor ini adalah terdapat tiga tujuan yang mungkin terjadi saat seseorang mulai membeli saham. Yakni berinvestasi, berdagang dan berjudi.
"Tapi kalau investasi hitungan hari atau kurang dari satu bulan. Kaidah dasar investasi itu kan tidak ada yang pendek jadi bukan maksudnya investasi, itu malah mengambil keuntungan jangka pendek itu kan dagang dan judi," jelas dia.
Hal ini memunculkan pertanyaan mengenai keberhasilan pendidikan investasi, terutama dari segi pasar modal yang selama ini dilakukan oleh regulator.
Ryan menilai saat ini pendidikan investasi masih kurang tepat sasaran, salah satunya disebabkan karena waktu pelaksanaannya lebih banyak dilakukan saat hari kerja. Padahal, kalangan usia produktif justru lebih banyak bekerja dan baru memiliki waktu kosong saat akhir pekan.
Hal ini jadi memunculkan banyaknya investor yang tidak paham dengan 'manual' untuk membeli saham. Artinya masih kurangnya edukasi mengenai keuntungan hingga risiko dalam membeli saham.
"Itu yang buat orang kalau kapok investasi saham. Yang untung diam, yang pura-pura untung ngomong, yang rugi akan ngomong kalau dia rugi. Ini titik rusaknya. Ini boomerang, kalau 50% investor baru ini jadi corong bad influence buat pasar modal karena dia ngomong kalau ternyata dia rugi," terang Ryan.
Selain itu, hal ini juga tidak terlepas dari banyaknya bermunculan influencer saham merekomendasikan saham-saham tertentu secara spesifik, tapi belum jelas apakah orang tersebut memiliki kapabilitas untuk merekomendasikan saham.
Padahal jelas-jelas profesi ini saja membutuhkan pendidikan dan license khusus yang juga diberikan oleh otoritas maupun lembaga tertentu.
Untuk itu, bila perlu seharusnya diperlukan regulasi khusus yang mengatur mengenai siapa saja yang memiliki kapasitas untuk berbicara mengenai saham. Sehingga jika ada orang yang tidak memiliki izin tersebut, bisa langsung di-blacklist oleh regulator.
Sementara itu, Ketua Dewan Pelaksana Lembaga Sertifikasi Profesi Pasar Modal (LSPPM), Haryajid Ramelan mengatakan investasi saham harusnya menggunakan uang yang menganggur atau istilah lainnya uang dingin.
Peminjaman di pinjaman online (pinjol) menurutnya juga memiliki bunga yang cukup besar. Pola pikir memiliki saham dengan meminjam di pinjol-pun salah.
"Ketika pinjam berapa pinjaman pinjol itu suku bunganya, itu besar sekali bisa jadi setahun saja bisa sampai 50%. Ini sudah enggak make sense pola pikirnya anak milenial melakukan pinjaman online Rp5-10 juta membeli produk investasi, itu sudah ngaco," jelasnya dalam program InvesTime CNBC Indonesia, Senin Malam (18/1/2021).
[Gambas:Video CNBC]