
China Mulai Nakal ke AS, Dolar Ngamuk Rupiah Rontok!

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Jumat (22/1/2021). Bangkitnya dolar AS membuat rupiah tertekan, begitu juga dengan mata uang utama Asia lainnya.
Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan di level Rp 13.980/US$, tetapi tidak lama berbalik melemah hingga 0,46% ke Rp 14.045/US$.
Rupiah berhasil memangkas pelemahan, di akhir perdagangan berada di level Rp 14.020/US$, melemah 0,29%.
Rupiah tidak sendirian, mata uang Asia juga berguguran. Hingga pukul 15:17 WIB, hanya peso Filipina yang menguat, itu pun sangat tipis 0,01%.
Berikut pergerakan dolar AS melawan mata uang utama Asia hari ini.
Dolar AS sebenarnya sedang tertekan beberapa hari terakhir. Kemarin indeks dolar AS merosot 0,42%, dan sempat berlanjut berlanjut 0,09% hingga siang tadi. Dolar AS tertekan setelah pelantikan Joseph 'Joe' Biden sebagai Presiden AS ke-46.
Selain pelantikan Biden, Senat AS yang sebelumnya dikuasai oleh Partai Republik, kini dikuasai oleh Partai Demokrat. Sehingga blue wave atau kemenangan penuh Partai Demokrat berhasil dicapai.
Parlemen AS menganut sistem 2 kamar, House of Representative (DPR) yang sudah dikuasai Partai Demokrat sejak lama, dan Senat yang pada rezim Donald Trump dikuasai Partai Republik.
Dengan dikuasainya DPR dan Senat, tentunya akan memudahkan dalam mengambil kebijakan, termasuk dalam meloloskan paket stimulus fiskal US$ 1,9 triliun.
Saat stimulus tersebut cair, maka jumlah uang bereda di perekonomian AS akan bertambah, dan dolar AS berisiko tertekan.
Namun, indeks dolar AS bangkit, sore ini menguat 0,17% ke 90,280. Penguatan tersebut terjadi setelah laporan menunjukkan China gagal memenuhi target pembelian produk AS yang ditetapkan pada perjanjian dagang fase I. Hal tersebut memicu kecemasan akan kemungkinan belum akan membaiknya hubungan AS-China meski presiden sudah berganti.
Seperti diketahui, pada Januari 2020, AS dan China menandatangani kesepakatan dengan fase I, sekaligus mengakhiri perang dagang atau bisa dikatakan mengakhiri periode kenaikan bea impor masing-masing negara.
Dalam perjanjian dagang fase I tersebut, China harus membeli produk dari AS senilai US$ 200 miliar dalam 2 tahun.
CNBC International melaporkan mengutip data dari Peterson Institute for International Economics, sepanjang tahun 2020 mengimpor barang dari China senilai US$ 100 miliar, padahal targeynya sebesar US$ 173,1 miliar, artinya hanya membeli 58% dari target tersebut.
Laporan tersebut menimbulkan kecemasan jika AS di bawah Joe Biden juga akan bersikap keras terhadap China.
Para calon menteri Biden juga menunjukkan sikap keras terkait China.
Janet Yellen, calon menteri keuangan AS, saat sidang konfirmasi pencalonannya di hadapan Senat masih menunjukkan sikap keras terhadap China.
"Kita perlu menghentikan praktik kejam, tidak adil, dan ilegal China," kata Yellen sebagaimana dilansir CNBC International, Selasa (19/1/2021). "China meremehkan perusahaan Amerika dengan melakukan praktik dumping, membuat hambatan perdagangan, dan memberikan subsidi ilegal kepada perusahaan."
"China telah mencuri kekayaan intelektual dan terlibat dalam praktek yang tidak adil, termasuk transfer paksa teknologi," tambahnya.
Calon menteri lainnya juga bersikap sama. Pensiunan jenderal Lloyd Austin yang ditunjuk Biden untuk menjadi Menteri Pertahanan, mengatakan China "merupakan ancaman keamanan yang signifikan dan jangka panjang bagi AS dan sekutu serta mitra kita.
Antony Blinken, calon menteri luar negeri, bahkan mengatakan Donald Trump sudah tepat dalam mengambil tindakan keras ke China. Blinken mendukung pernyataan Mike Pompeo, Menteri Luar Negeri Era Trump, pada Selasa (19/1) bahwa China melakukan genosida terhadap warga Uighur dan sebagian besar orang Muslim lainnya.
Dia pun berjanji akan terus mencari cara untuk memblokir impor produk-produk China yang melibatkan kerja paksa dan mencegah ekspor teknologi yang dapat "melanjutkan represi mereka."
