Jakarta, CNBC Indonesia - Kinerja rupiah pada pekan ini terbilang kurang oke. Dengan mata uang Asia-Pasifik dan Eropa, rupiah juga kalah telak pekan ini.
Sepanjang pekan ini, mata uang Tanah Air melemah 0,21% terhadap dolar Amerika Serikat (AS) secara point-to-point di perdagangan pasar spot, yakni ke level Rp 14.010.
Rata-rata, mata uang utama Asia masih mampu menguat di hadapan greenback pekan ini. Hanya lima dari sebelas mata uang Asia yang kalah di hadapan greenback, termasuk rupiah.
Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Benua Kuning sepanjang pekan ini:
Sementara itu di Asia-Pasifik, rupiah hanya menang melawan tiga dari sebelas mata uang Asia-Pasifik, yakni menang dengan dolar Australia, won Korea Selatan, dan dolar Singapura.
Berikut perkembangan kurs mata uang Benua Kuning di hadapan rupiah pada pekan ini:
Adapun di Eropa, rupiah juga tidak berkutik banyak. Rupiah hanya menang dengan mata uang Franc Swiss pada pekan ini, sedangkan dengan euro dan poundsterling, rupiah kalah.
Berikut perkembangan kurs mata uang utama Eropa terhadap rupiah pada pekan ini:
Rupiah kalah dengan dolar AS dikarenakan saat ini mata uang Negeri Paman Sam tersebut memang sedang kuat-kuatnya karena sentimen politik di negara tersebut.
Pada pembukaan perdagangan 2021, Senin pekan lalu, rupiah langsung melesat 1,1%, tetapi setelahnya malah mengendur. Sehingga sepanjang pekan lalu, rupiah berhasil membukukan penguatan 0,43%, sementara di pekan ini melemah 0,21% ke Rp 14.010/US$.
Alhasil, meski mengendur, rupiah masih membukukan kinerja positif dalam 2 pekan pertama tahun ini.
Pelaku pasar saat ini masih memberikan outlook bullish (tren naik) untuk rupiah, tetapi nilainya terus terpangkas. Tidak hanya rupiah, semua mata uang Asia juga masih bullish melawan dolar AS di mata pelaku pasar, tetapi sekali lagi nilainya juga menurun.
Indeks dolar AS yang mulai bangkit dari level terendah nyaris 3 tahun terakhir sejak pekan lalu menjadi penyebab menurunnya posisi long tersebut.
Pelaku pasar masih menimbang-nimbang kemana dolar AS akan melangkah di tahun ini. Sebab, ada "bisik-bisik" di pasar jika bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) akan memangkas nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) di akhir tahun ini, yang berpeluang membuat dolar AS perkasa.
Di sisi lain, semakin banyak analis mata uang yang memprediksi dolar AS masih akan melemah hingga 2 tahun ke depan.
Kebangkitan dolar AS tersebut terjadi justru saat semakin banyak "dibuang" atau posisi short (jual) dolar AS yang diambil investor sedang mengalami peningkatan.
Reuters melaporkan, berdasarkan data dari Commodity Futures Trading Commission (CFTC), pada pekan yang berakhir 5 Januari, posisi net short dolar AS mencapai US$ 30,57 miliar, naik dari pekan sebelumnya US$ 30,40 miliar.
Posisi net short dolar AS sendiri terjadi sejak pertengahan Maret 2020 lalu, yang pada akhirnya membawa indeks dolar AS jeblok.
Data dari Refinitiv menunjukkan, sejak pertengahan Maret indeks dolar AS mencapai level puncak di 102,992, sementara posisi akhir tahun 2020 di 89,937, artinya mengalami kemerosotan lebih dari 12%. Kemerosotan tersebut masih berlanjut hingga Rabu lalu sebelum akhirnya bangkit.
Kini, dengan bangkitnya indeks dolar AS dalam 5 hari terakhir, rilis data net short selanjutnya akan menentukan sentimen terhadap dolar AS. Jika net short kembali meningkat, akan menjadi indikasi dolar AS akan kembali merosot, sentimen pasar masih bearish.
Apalagi, Kamis kemarin Presiden AS terpilih Joseph 'Joe' Biden mengumumkan akan menggelontorkan paket stimulus fiskal senilai US$ 1,9 triliun.
Dengan tambahan stimulus fiskal, maka jumlah uang yang beredar di AS akan bertambah, dan secara teori dolar AS akan melemah.
Pada bulan Maret 2020, dolar AS begitu perkasa, rupiah bahkan sempat ambrol ke level Rp 16.620/US$, terlemah sejak krisis moneter 1998.
Namun, AS saat itu menggelontorkan stimulus fiskal senilai US$ 2 triliun guna menanggulangi pandemi penyakit virus corona (Covid-19), dan menyelamatkan perekonomian AS.
Setelahnya nilai tukar dolar AS terus merosot. Efek yang sama kemungkinan akan muncul saat stimulus US$ 1,9 triliun yang dijanjikan Joe Biden cair.
TIM RISET CNBC INDONESIA