Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah di kurs tengah Bank Indonesia (BI). Rupiah pun merah di perdagangan pasar spot.
Pada Kamis (14/1/2021), kurs tengah BI atau kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor berada di Rp 14.119. Rupiah melemah 0,07% dibandingkan posisi hari sebelumnya.
Di pasar spot, rupiah pun terdepresiasi. Dibuka stagnan di Rp 14.055/US$, rupiah melemah 0,11% ke Rp 14.070.US$ pada pukul 10:00 WIB.
Sementara mata uang Asia lainnya bergerak variatif di hadapan dolar AS. Pertanda investor sedang bingung menentukan arah.
Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Benua Kuning di perdagangan pasar spot pada pukul 10:02 WIB:
Dolar AS memang sedang bangkit. Pada pukul 09:24 WIB, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) menguat 0,08%.
Investor kembali berburu aset-aset berbasis dolar AS (terutama obligasi) karena kenaikan imbalan. Pada pukul 09:26 WIB, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun naik 7 basis poin (bps) ke 1,0951%. Sejak 31 Desember 2020, yield instrumen ini melesat 183,1 bps.
Kenaikan yield obligasi pemerintah Negeri Adidaya disebabkan oleh rencana pemerintahan Presiden Terpilih Joseph 'Joe' Biden untuk menggelontorkan stimulus jumbo demi untuk mengatasi dampak pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19). Awalnya pemerintahan Biden merencanakan stimulus fiskal di bawah US$ 1 triliun. Namun Biden berubah pikiran dan siap menggelontorkan stimulus yang lebih besar.
"Berbagai penelitian memberi konfirmasi bahwa dengan kondisi krisis seperti sekarang, apalagi di tengah iklim suku bunga rendah, mengambil langkah segera meski itu berdampak kepada pembiayaan defisit anggaran akan sangat membantu perekonomian," jelas Biden.
Biden cukup jelas menyatakan bahwa ke depan sepertinya pembiayaan defisit fiskal akan meningkat demi stimulus. Artinya pemerintahan pengganti Presiden Donald Trump akan tetap banyak menerbitkan surat utang.
Lonjakan pasokan surat utang akan membuat harga instrumen ini turun. Otomatis yield akan terkerek ke atas. Kenaikan yield pada satu titik akan membuat investor tertarik untuk masuk.
Apalagi inflasi di Negeri Paman Sam masih rendah. Per Desember 2020, inflasi inti berada di 1,6% dibandingkan periode yang sama tahun lalu (year-on-year/YoY). Ini menyebabkan berinvestasi di aset-aset keuangan AS tidak terlampau tergerus oleh inflasi.
"Kalau melihat data inflasi inti, sepertinya risiko tekanan inflasi tidak akan besar dalam waktu dekat. Permintaan masih relatif terbatas," ujar Michael Engund, Chief Economist di Action Economics, seperti dikutip dari Reuters.
Dengan kenaikan yield, plus tekanan inflasi yang minim, berinvestasi di obligasi pemerintah AS kembali menarik di mata investor. Akibatnya, permintaan dolar AS meningkat untuk keperluan masuk ke pasar obligasi. Tingginya permintaan dolar membuat nilai tukar mata uang ini terapresiasi.
TIM RISET CNBC INDONESIA