Cuma Perlu Bersabar, Rupiah Akan Dekati Rp 13.000/US$ Lagi

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
13 January 2021 16:48
mata uang rupiah dolar dollar Bank Mandiri
Foto: Ilustrasi Rupiah dan Dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah menunjukkan kinerja impresif melawan dolar Amerika Serikat (AS) saat pembukaan perdagangan tahun ini, Senin (4/1/2021) lalu. Tetapi setelahnya Mata Uang Garuda justru melalui jalan terjal, dan melemah cukup signifikan.

Senin pekan lalu, rupiah langsung mencatat penguatan 1,1% ke Rp 13.885/US$, tetapi setelahnya mulai mengendur, hingga akhirnya membukukan pelemahan 4 hari beruntun hingga Selasa kemarin. Selama periode tersebut, total rupiah merosot 1,73% ke Rp 14.120/US$. Artinya rupiah kembali mencatat kinerja negatif jika dibandingkan posisi akhir tahun 2020 Rp 14.040/US$. Rupiah bahkan sempat menyentuh level Rp 14.200/US$ kemarin.

Baru pada hari ini, rupiah mampu menguat 0,46% ke Rp 14.055/US$.

Bangkitnya indeks dolar AS dari level terendah nyaris 3 tahun membuat rupiah terpuruk. Pada Rabu (6/1/2021), indeks dolar AS menyentuh level 89,209, terendah sejak Maret 2018. Tetapi di hari itu juga, indeks dolar AS bangkit dan membukukan penguatan 0,11%, dan berlanjut hingga Senin kemarin. Total penguatan selama 4 hari perdagangan tersebut sebesar 1,04%, sebelum terkoreksi 0,41% kemarin, dan berlanjut hari ini.

Meski demikian, jalan masih panjang dan rupiah berpeluang perkasa lagi mendekati level Rp 13.000/US$. Sebabnya, dolar AS masih diramal akan kembali melemah hingga 2 tahun ke depan, bahkan semakin banyak analis memberikan proyeksi tersebut. Di sisi lain, pemulihan ekonomi global pasca dihantam pandemi penyakit virus corona (Covid-19), vaksinasi, serta imbal hasil (yield) yang tinggi menjadi modal bagi rupiah untuk terus menguat.

Hasil survei terbaru yang dilakukan Reuters pada 4 -7 Januari terhadap 70 ahli strategi mata uang, menunjukkan sebanyak 46% memprediksi dolar AS masih akan melemah dalam 1 sampai 2 tahun ke depan. Persentase tersebut naik ketimbang survei bulan Desember lalu sebesar 39%.

idrFoto: Refinitiv

Sementara yang memprediksi the greenback akan melemah lebih dari 2 tahun sebesar 10%, sama dengan hasil survei bulan lalu.

Sedangkan yang memprediksi pelemahan dolar AS hanya akan berlangsung selama 3 bulan turun menjadi 14% dari sebelumnya 15%.

Artinya, meski indeks dolar AS sempat rebound belakangan ini, tetapi ke depannya masih berisiko tertekan.

Hal tersebut juga bisa dikonfirmasi dengan posisi short (jual) dolar AS yang diambil investor yang terus mengalami peningkatan. Reuters melaporkan, berdasarkan data dari Commodity Futures Trading Commission (CFTC), pada pekan yang berakhir 5 Januari, posisi net short dolar AS mencapai US$ 30,57 miliar, naik dari pekan sebelumnya US$ 30,40 miliar.

Posisi net short dolar AS sendiri terjadi sejak pertengahan Maret 2020 lalu, yang pada akhirnya membawa indeks dolar AS jeblok. Data dari Refinitiv menunjukkan, pada pertengahan Maret indeks dolar AS mencapai level puncak di 102,992, sementara posisi akhir tahun 2020 di 89,937, artinya mengalami kemerosotan lebih dari 12%.

Kemerosotan tersebut masih berlanjut hingga Rabu lalu sebelum akhirnya bangkit.

Rilis data net short selanjutnya akan menentukan sentimen terhadap dolar AS. Jika net short kembali meningkat, akan menjadi indikasi dolar AS akan kembali merosot, sentimen pasar masih bearish. Sementara jika net short berkurang, artinya pelaku pasar mulai melihat potensi penguatan dolar AS ke depannya.

Patut diingat, faktor-faktor yang membuat dolar AS jeblok pada tahun lalu masih ada di tahun ini. Bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) masih mempertahankan program pembelian aset (quantitative easing/QE) senilai US$ 120 miliar per bulan, dan suku bunga 0,25% tidak akan dinaikkan hingga tahun 2023.

Kemudian, Joe Biden dengan Partai Demokrat juga diperkirakan akan menambah nilai stimulus fiskal.

Sehingga perekonomian AS masih akan banjir likuiditas, secara teori dolar AS masih akan tertekan.

Survei dari Reuters tersebut juga menunjukkan sebanyak 83% responden melihat mata uang negara berkembang (emerging market/EM) yang akan menguat terhadap dolar AS, sementara sisanya melihat mata uang negara maju.

"Kita akan melihat pergerakan investasi keluar dan dolar AS menuju emerging market yang memberikan yield tinggi," kata Jane Foley, kepala ahli strategi mata uang di Rabobank, sebagaimana dilansir Reuters, Jumat (8/1/2021).

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Ini Modal Rupiah Untuk Terus Menguat

Survei berbeda dilakukan Reuters terhadap 50 ahli strategi mata uang pada periode 4 - 7 Januari, hasilnya mata uang negara berkembang yang beberapa bulan terakhir menguat diramal akan melanjutkan penguatan di 2021. Indeks mata uang negara berkembang diperkirakan sekitar 2% dalam 12 bulan, meski beberapa negara masih belum akan mampu pulih ke level sebelum virus corona melanda.

Di tahun 2020 lalu, indeks tersebut mampu menguat hingga 11%, setelahnya sebelumnya sempat jeblok ke level terendah 3 tahun di bulan Maret 2020. Jebloknya dolar Amerika Serikat (AS) menjadi pemicu kebangkitan indeks tersebut.

Andreas Steno Larsen, kepala strategi mata uang global di Nordea mengatakan, Joseph 'Joe' Biden yang akan dilantik menjadi Presiden AS pada 20 Januari nanti memberikan keuntungan bagi mata uang negara berkembang.

"Biden yang akan menduduki kursi Presiden AS memberikan harapan perang dagang (AS-China) akan berakhir, ditambah dengan vaksinasi maka akan menciptakan kondisi yang nyaman bagi negara berkembang" katanya sebagaimana dilansir Reuters, Jumat (8/1/2021).

Sementara itu, sebanyak 38 orang ahli strategi yang disurvei mengatakan yield yang tinggi, serta program vaksinasi yang sukses akan menjadi pemicu utama penguatan mata uang EM. Sementara 10 orang, melihat pemulihan ekonomi domestik sebagai pendorong utama.

Rupiah memiliki 3 hal yang disebutkan tersebut untuk menguat di tahun ini. Vaksinasi sudah resmi dimulai hari ini.

Kemudian yield atau imbal hasil obligasi Indonesia masih lebih tinggi ketimbang negara-negara EM lainnnya. Yield tenor 10 tahun misalnya masih di kisaran 6%, dengan inflasi sekitar 1,6% year-on-year (YoY), maka real yield yang dihasilkan sekitar 4,4%.

Real yield tersebut masih lebih tinggi ketimbang Brasil sebesar 2,7% (yield obligasi tenor 10 tahun 7%, inflasi 4,3%). Kemudian China dengan real yield 3,7%, atau tetangga dekat Malaysia sebesar 4,2%.

Real yield India bahkan negatif 1%, sebab yield obligasi tenor 10 tahun sebesar 5,9% sementara inflasi justru mencapai 6,9% YoY. Real yield Indonesia hanya kalah dari Afrika Selatan sebesar 5,5%.

Terakhir dari segi pemulihan ekonomi, Dana Moneter Internasional (IMF) berikan pandangan positif untuk ekonomi Indonesia 2021. Perkiraan pertumbuhan Produk Domestic Bruto (PDB) Indonesia tahun 2021 berada di 4,8% lebih besar 40 basis poin (bps) ketimbang perkiraan IMF sebelumnya di 4,4%. Tahun 2022, ekonomi Indonesia bahkan diprediksi tumbuh 6%.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Rp 13.900/US$ Jadi Kunci Pergerakan Rupiah Tahun Ini

Dalam jangka panjang, level Rp 13.900/US$ akan menjadi kunci pergerakan rupiah. Di awal tahun ini, rupiah sempat menembus level tersebut, tetapi gagal bertahan di bawahnya.

Di awal 2020, rupiah juga sempat menembus level tersebut, setelahnya rupiah melesat hingga lebih dari 2% hingga akhir Januari.

Di tahun 2019 lalu, rupiah beberapa kali mendekati level tersebut kemudian berbalik melemah, yang menjadi indikasi sebagai support yang kuat.

idrGrafik: Rupiah (USD/IDR)
Foto: Refinitiv

Potensi penguatan rupiah dalam jangka panjang terlihat dari death cross alias perpotongan rerata pergerakan 50 hari (moving average/MA 50), 100 hari (MA 100), dan 200 hari (MA 200). Death cross terjadi dimana MA 50 memotong dari atas ke bawah MA 100 dan 200.

Death cross menjadi sinyal suatu aset akan berlanjut turun. Dalam hal ini USD/IDR, artinya rupiah berpotensi menguat lebih jauh.

Jika mampu menembus dan bertahan di bawah Rp 13.900/US$, rupiah berpeluang menguat ke Rp 13.565/US$ (level terkuat 2020). Penembusan di bawah level tersebut akan membuka peluang penguatan menuju Rp 13.300/US$ hingga Rp 13.150/US$ di tahun ini.

Sementara itu, jika kembali ke atas Rp 14.100/US$ (kisaran MA 50)  dan tertahan di atasnya, rupiah berisiko melemah dengan resisten kuat di Rp 14.600/US$.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular