
Cuma Perlu Bersabar, Rupiah Akan Dekati Rp 13.000/US$ Lagi

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah menunjukkan kinerja impresif melawan dolar Amerika Serikat (AS) saat pembukaan perdagangan tahun ini, Senin (4/1/2021) lalu. Tetapi setelahnya Mata Uang Garuda justru melalui jalan terjal, dan melemah cukup signifikan.
Senin pekan lalu, rupiah langsung mencatat penguatan 1,1% ke Rp 13.885/US$, tetapi setelahnya mulai mengendur, hingga akhirnya membukukan pelemahan 4 hari beruntun hingga Selasa kemarin. Selama periode tersebut, total rupiah merosot 1,73% ke Rp 14.120/US$. Artinya rupiah kembali mencatat kinerja negatif jika dibandingkan posisi akhir tahun 2020 Rp 14.040/US$. Rupiah bahkan sempat menyentuh level Rp 14.200/US$ kemarin.
Baru pada hari ini, rupiah mampu menguat 0,46% ke Rp 14.055/US$.
Bangkitnya indeks dolar AS dari level terendah nyaris 3 tahun membuat rupiah terpuruk. Pada Rabu (6/1/2021), indeks dolar AS menyentuh level 89,209, terendah sejak Maret 2018. Tetapi di hari itu juga, indeks dolar AS bangkit dan membukukan penguatan 0,11%, dan berlanjut hingga Senin kemarin. Total penguatan selama 4 hari perdagangan tersebut sebesar 1,04%, sebelum terkoreksi 0,41% kemarin, dan berlanjut hari ini.
Meski demikian, jalan masih panjang dan rupiah berpeluang perkasa lagi mendekati level Rp 13.000/US$. Sebabnya, dolar AS masih diramal akan kembali melemah hingga 2 tahun ke depan, bahkan semakin banyak analis memberikan proyeksi tersebut. Di sisi lain, pemulihan ekonomi global pasca dihantam pandemi penyakit virus corona (Covid-19), vaksinasi, serta imbal hasil (yield) yang tinggi menjadi modal bagi rupiah untuk terus menguat.
Hasil survei terbaru yang dilakukan Reuters pada 4 -7 Januari terhadap 70 ahli strategi mata uang, menunjukkan sebanyak 46% memprediksi dolar AS masih akan melemah dalam 1 sampai 2 tahun ke depan. Persentase tersebut naik ketimbang survei bulan Desember lalu sebesar 39%.
![]() |
Sementara yang memprediksi the greenback akan melemah lebih dari 2 tahun sebesar 10%, sama dengan hasil survei bulan lalu.
Sedangkan yang memprediksi pelemahan dolar AS hanya akan berlangsung selama 3 bulan turun menjadi 14% dari sebelumnya 15%.
Artinya, meski indeks dolar AS sempat rebound belakangan ini, tetapi ke depannya masih berisiko tertekan.
Hal tersebut juga bisa dikonfirmasi dengan posisi short (jual) dolar AS yang diambil investor yang terus mengalami peningkatan. Reuters melaporkan, berdasarkan data dari Commodity Futures Trading Commission (CFTC), pada pekan yang berakhir 5 Januari, posisi net short dolar AS mencapai US$ 30,57 miliar, naik dari pekan sebelumnya US$ 30,40 miliar.
Posisi net short dolar AS sendiri terjadi sejak pertengahan Maret 2020 lalu, yang pada akhirnya membawa indeks dolar AS jeblok. Data dari Refinitiv menunjukkan, pada pertengahan Maret indeks dolar AS mencapai level puncak di 102,992, sementara posisi akhir tahun 2020 di 89,937, artinya mengalami kemerosotan lebih dari 12%.
Kemerosotan tersebut masih berlanjut hingga Rabu lalu sebelum akhirnya bangkit.
Rilis data net short selanjutnya akan menentukan sentimen terhadap dolar AS. Jika net short kembali meningkat, akan menjadi indikasi dolar AS akan kembali merosot, sentimen pasar masih bearish. Sementara jika net short berkurang, artinya pelaku pasar mulai melihat potensi penguatan dolar AS ke depannya.
Patut diingat, faktor-faktor yang membuat dolar AS jeblok pada tahun lalu masih ada di tahun ini. Bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) masih mempertahankan program pembelian aset (quantitative easing/QE) senilai US$ 120 miliar per bulan, dan suku bunga 0,25% tidak akan dinaikkan hingga tahun 2023.
Kemudian, Joe Biden dengan Partai Demokrat juga diperkirakan akan menambah nilai stimulus fiskal.
Sehingga perekonomian AS masih akan banjir likuiditas, secara teori dolar AS masih akan tertekan.
Survei dari Reuters tersebut juga menunjukkan sebanyak 83% responden melihat mata uang negara berkembang (emerging market/EM) yang akan menguat terhadap dolar AS, sementara sisanya melihat mata uang negara maju.
"Kita akan melihat pergerakan investasi keluar dan dolar AS menuju emerging market yang memberikan yield tinggi," kata Jane Foley, kepala ahli strategi mata uang di Rabobank, sebagaimana dilansir Reuters, Jumat (8/1/2021).
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Ini Modal Rupiah Untuk Terus Menguat
