Jakarta, CNBC Indonesia - Dolar Amerika Serikat (AS) bangkit sejak pekan lalu, hal ini tercermin dari kenaikan indeksnya dalam 4 hari beruntun hingga Senin (11/1/2021). Padahal, data menunjukkan para pelaku pasar semakin banyak "membuang" alias mengambil posisi jual dolar AS, yang seharusnya membuat nilainya tertekan.
Melansir data Refinitiv, pada Rabu (6/1/2021), indeks dolar AS menyentuh level 89,209, terendah sejak Maret 2018. Tetapi di hari itu juga, indeks dolar AS bangkit dan membukukan penguatan 0,11%. Setelahnya, indeks yang dijadikan tolak ukur kekuatan dolar AS ini terus menanjak, termasuk hari ini pukul 15:36 WIB menguat 0,24% di 90,310.
Kebangkitan dolar AS tersebut terjadi justru saat semakin banyak "dibuang" atau posisi short (jual) dolar AS yang diambil investor sedang mengalami peningkatan. Reuters melaporkan, berdasarkan data dari Commodity Futures Trading Commission (CFTC), pada pekan yang berakhir 5 Januari, posisi net short dolar AS mencapai US$ 30,57 miliar, naik dari pekan sebelumnya US$ 30,40 miliar.
Posisi net short dolar AS sendiri terjadi sejak pertengahan Maret 2020 lalu, yang pada akhirnya membawa indeks dolar AS jeblok. Data dari Refinitiv menunjukkan, sejak pertengahan Maret indeks dolar AS mencapai level puncak di 102,992, sementara posisi akhir tahun 2020 di 89,937, artinya mengalami kemerosotan lebih dari 12%.
Kemerosotan tersebut masih berlanjut hingga Rabu lalu sebelum akhirnya bangkit.
Kini, dengan bangkitnya indeks dolar AS dalam 4 hari terakhir, rilis data net short selanjutnya akan menentukan sentimen terhadap dolar AS. Jika net short kembali meningkat, akan menjadi indikasi dolar AS akan kembali merosot, sentimen pasar masih bearish. Sementara jika net short berkurang, artinya pelaku pasar mulai melihat potensi penguatan dolar AS ke depannya.
Ekspektasi bangkitnya perekonomian AS di tahun ini, serta kenaikan yield obligasi (Treasury) AS menjadi pemicu bangkitnya indeks dolar AS.
Selain itu, pernyataan para pejabat bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) yang menunjukkan optimisme pemulihan ekonomi membuat dolar AS "mengamuk".
"Saya terdorong untuk melihat peningkatan indikator ekspektasi inflasi... Itu yang berusaha kami bantu" kata Thomas Barkin, Presiden The Fed Richmond dalam wawancara degan Reuters Kamis kemarin.
Di tempat berbeda, Presiden The Fed St. Louis, James Bullard mengatakan semua faktor yang akan memicu inflasi sudah ada, dari kebijakan moneter dan fiskal. Bullard mengatakan saat ini kebijakan fiskal sangat powerful, dan kemungkinan akan ada tambahan lagi saat pemerintahan Joseph 'Joe' Biden.
Bangkitnya dolar AS langsung memberikan pukulan telak bagi rupiah. Meski pada pekan lalu sukses membukukan penguatan 0,43% dan berada di bawah Rp 14.000/US$, tetapi pada perdagangan Jumat (8/1/2021) rupiah melemah tajam, 0,65%. Pelemahan tersebut berlanjut hari ini hingga akhirnya kembali ke atas Rp 14.000/US$.
Selain bangkitnya dolar AS, rupiah juga tertekan oleh kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang lebih ketat, atau yang saat ini disebut Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) resmi dimulai hari ini.
PPKM berlangsung di pulau Jawa dan Bali mulai hari ini hingga 25 Januari mendatang. Kebijakan tersebut diterapkan oleh pemerintah guna menekan penyebaran penyakit akibat virus corona (Covid-19).
Di daerah-daerah yang kena PPKM, perkantoran non-esensial diimbau menerapkan kerja dari rumah (work from home) 75%. Kegiatan belajar-mengajar belum bisa tatap muka di sekolah, masih jarak jauh.
Pusat perbelanjaan wajib tutup pukul 19:00 WIB. Restoran masih boleh menerima pengunjung yang makan-minum di tempat, tetapi maksimal 25% dari total kapasitas. Demikian pula rumah ibadah, boleh menampung jamaah tetapi dibatasi paling banyak 50%.
Alhasil, roda bisnis akan kembali melambat, dan pemulihan ekonomi kembali terhambat, dan rupiah tertekan hingga melemah 0,72% ke Rp 14.080/US$ hari ini, bahkan sebelumnya sempat menyentuh level Rp 14.100/US$.
Secara teknikal, level Rp 14.100 hingga Rp 14.115/US$ merupakan kisaran rerata pergerakan (moving average/MA) 50 hari atau MA 50 (garis hijau). Sehingga menjadi resisten yang cukup kuat.
Resisten tersebut bisa menahan pelemahan rupiah, tetapi seandainya ditembus, rupiah berisiko melemah lebih jauh. Sehingga level tersebut menjadi kunci pergerakan rupiah di pekan ini.
Pada November 2020 lalu terjadi death cross alias perpotongan MA 50 hari, MA 100 hari (MA 100), dan 200 hari (MA 200). Death cross terjadi dimana MA 50 memotong dari atas ke bawah MA 100 dan 200.
 Grafik: Rupiah (USD/IDR) Harian Foto: Refinitiv |
Death cross menjadi sinyal suatu aset akan berlanjut turun. Dalam hal ini USD/IDR, artinya rupiah berpotensi menguat lebih jauh.
Sementara itu, indikator stochastic pada grafik harian mulai keluar dari wilayah jenuh jual (oversold), sehingga tekanan terhadap rupiah sedikit berkurang.
Stochastic merupakan leading indicator, atau indikator yang mengawali pergerakan harga. Ketika Stochastic mencapai wilayah overbought (di atas 80) atau oversold (di bawah 20), maka suatu harga suatu instrumen berpeluang berbalik arah.
Seperti disebutkan sebelumnya, resisten terdekat berada di kisaran Rp 14.100 hingga Rp 14.115/US$, jika ditembus dan tertahan di atasnya rupiah berisko melemah ke Rp 14.200/US$ hingga Rp 14.260/US$ di pekan ini.
Sementara itu selama tertahan di bawah Rp 14.100/US$ rupiah berpeluang kembali menguat ke level psikologis Rp 14.000/US$. Jika level tersebut ditembus, Mata Uang Garuda berpeluang menguat menuju Rp 13.900 hingga Rp 13.880/US$.
TIM RISET CNBC INDONESIA